Pesantren Kesayangan ku

Pesantren Kesayangan ku
PONDOK PESANTREN BAITUL MAGHFIROH

IQRO

kata pengantar universalisme

KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan alhamdulillah, penulis menghaturkan segala puji syukur kepada allah swt atas taufiq dan hidayahnya hingga selesailah makalah yang berjudul universalisme sebagai penunjang mata kuliah Pengantar studi islam

Makalah ini sangat di harapkan dapat menjadi referensi oleh setiap mahasiswa stai ibrahimi genteng dalam perkuliahan.

Dengan selesainya makalah ini, penulis banyak menghaturkan terimakasih kepada segenap pihak yang telah turut serta membantu.

Selanjutnya apabila di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan, penulis berharap agar menjadi koreksi bersama.








Gembolo, 01 januari 2011

Penulis



Sri Mukti










DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II UNIVERSALISME 3

  1. Posisi Ruang Publik dalam Modernisasi Institusi Formal 3
  2. Universalisme Islam, Ruang Publik dan Kemunculan Varian Baru

    Muslim 4

    1. Ruang Publik dan Formalisasi Syari'at Islam 5

2. Universalisme Islam dan Sekularisasi Institusi Formal 6

3. Moderatisme dan Dilema Islam Mainstream 7

BAB III PENUTUP 9

DAFTAR PUSTAKA 10


pendahuluan universalisme

BAB I

PENDAHULUAN

Ruang publik dan universalisme Islam adalah dua topik yang berbeda, namun memiliki relasi yang cukup penting dalampeta pemikiran Islam di Indonesia. Sejauh ini, kedua topik tersebut telah menjadi 'issue bersamaan bahkan menjadi arena perebutan makna di kalangan kelompok, aliran, atau mazhab pemikiran Islam yang eksis di negeri ini. Di satu sisi, universalisme sebagai 'doktrin normatif' tentang fungsi Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmat li al-'âlamîn) telah dipahami tidak secara monolitik. Di sisi lain, ruang publik yang bersifat spatio-temporal telah menjadi tempat strategis dimana gagasan universalime Islam yang dipahami secara beraneka ragam itu akan disemayamkan. Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan corak pemikiran Islam Indonesia mengenai konsep universalisme Islam. Penulis sendiri berasumsi bahwa perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan sarjana dan agamawan Muslim di Indonesia tentang fungsi agama dalam wilayah publik, baik itu yang pro maupun yang kontra, ternyata dilatarbelakangi oleh argumen dan klaim yang sama, yakni sama-sama mengkampanyekan universalisme agama.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan topik ini.

  1. Sebagaimana kita sadari, dewasa ini perdebatan tentang peran agama dan ruang publik di Indonesia telah memunculkan varian-varian baru dalam konfigurasi Islam di Indonesia. Berdasarkan ekspresi keagamaan mereka, yang terdiri dari Santri, Abangan, dan Priyayi, fenomena saat ini dapat dikatakan lebih unik, karena varian-varian yang muncul merupakan derivasi kelompok santri itu sendiri. Para sarjana, dengan menggunakan istilah yang berbeda, umumnya mendefinisikan mereka ke dalam tiga kelompok: konservatif, moderat, dan liberal. Kategorisasi tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa telah terjadi proses politik dan revolusi budaya di kalangan Muslim Indonesia yang ditandai dengan semakin spesifiknya orientasi keagamaan mereka.
  2. Proses modernisasi di berbagai bidang yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan birokratisasi institusi-institusi sosial, termasuk di dalamnya institusi keagamaan, nampak nyata telah memberi warna tersendiri di kalangan agamawan Indonesia dalam mendefinisikan universalisme agama dan fungsinya dalam ruang publik.
  3. Konsep Syari'at Islam yang menjadi titik pijak kaum Muslim dalam mengkonsepsikan universalisme agama ternyata memiliki banyak dimensi yang, dalam manifestasinya, memberi peluang untuk memunculkan perbedaan atau bahkan perselisihan. Di dunia Islam, wacana tentang pelaksanaan syari'at memang acap melibatkan sentimen publik (public sentiment).Apalagi ketika wacana syari'at ini erat kaitannya dengan konsep umat, salah satu isu paling esensial dalam politik Islam. Sebagai sebuah konsep normatif, syari'at oleh sebagian besar kaum Muslim diyakini memiliki apa yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr 'Divine Will' atau 'Divine Law.' Namun demikian, reseptivitas kaum Muslim terhadap otoritas syari'at dalam keseharian mereka tidaklah sama.


















BAB II

UNIVERSALISME

  1. Posisi Ruang Publik dalam Modernisasi Institusi Formal

Dalam masyarakat modern, di mana institusi-institusi sekular telah memasuki sebagian ranah publik (public atmosphere), nampak jelas bahwa gagasan-gagasan religius dan institusi-institusi keagamaan semakin diprivatisasikan, dianggap sebagai insitusi-institusi non-formal, dan cenderung tergeser oleh meminjam Max Weber 'rasionalitas formal' (formal rationality) yang termanifestasikan dalam bentuk institusi-institusi formal. Selain masalah rasionalisasi, modernisasi memiliki implikasi lain dalam masyarakat. Fragmentasi sosial, menguatnya individualitas, dan semakin rapuhnya sense of community dalam masyarakat modern merupakan persoalan yang menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat agama.

Kendati gelombang modernisasi yang diikuti oleh birokratisasi dan bahkan sekularisasi institusi-institusi formal terus bergerak dengan dahsyat, hal itu tidak sepenuhnya mampu mengabaikan fungsi agama dalam masyarakat, dan tidak pula dapat meng-eradikasi secara total kecenderungan masyarakat untuk mentransformasikan nilai-nilai religius mereka. Mengenai hal tersebut, Lebih jauh, kita bisa melihat bahwa yang terjadi saat ini justru adanya perebutan klaim, terutama ketika agama-agama bangkit menorehkan kembali superioritasnya dalam institusi-institusi formal, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.

Varian-varian baru Muslim yang muncul sebagai akibat dari respons yang berbeda terhadap modernisasi tersebut muncul di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kasus di Indonesia boleh di bilang unik. Meski dianggap Islam peripheral, Indonesia menyandang predikat negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Sebagai negara yang sudah "mandiri" secara politik, Indonesia, seperti halnya beberapa negara berpenduduk Muslim lainnya yang pernah menjadi negara-negara Eropa, telah mengadopsi dan mereformulasi sistem sosial-politik yang berkembang di Barat, dan pada saat yang sama Indonesia mengadopsi sistem nilai berbasis agama dan moral-tradisi lokal. Tak pelak, Indonesia acap disebut
bukan negara sekular dan bukan pula "negara agama." Posisinya yang seperti itu jelas memberi peluang lebih besar untuk terjadinya pergulatan di kalangan Muslim dalam mendefinisikan universalisme agama dan engimplementasikannya dalam ruang publik. Apalagi fakta enunjukkan bahwa Indonesia juga adalah negara yang sangat plural dan multikultural.

Reformasi politik, hukum, sosial, dan budaya memberikan ruang terlebih dahulu untuk adanya reformasi yang murni bersifat intelektual. Reformasi sosial dan budaya seperti tentang individu, keluarga, dan institusi sosial lainnya juga membutuhkan perubahan perangkat pendampingnya, yakni kebijakan politik dan hukum.

  1. Universalisme Islam, Ruang Publik dan Kemunculan Varian Baru Muslim

Ruang publik adalah ruang yang terbuka dan menjadi tempat bertemunya" gagasan atau opini yang dimiliki oleh masyarakat sipil (civil society) dengan gagasan atau opini yang merepresentasikan sebuah struktur politik tertentu. Karena sifatnya yang terbuka, ruang publik adalah tempat di mana meminjam Habermas semua elemen masyarakat berkepentingan dan berkesempatan untuk "come together to form a public." Habermas menyatakan bahwa ruang publik merupakan sebuah domain dari kehidupan sosial di mana opini publik dapat terbentuk. Akses terhadap ruang publik sangat terbuka bagi semua entitas masyarakat. Individu dari berbagai latar belakang yang berbeda dapat masuk, bergabung dan "berbincang" dalam ruang tersebut dan sekaligus membentuknya opini publik. Dalam ruang yang merupakan "milik bersama" itu, seseorang, tanpa harus merasa terpaksa atau tertekan, dapat bersikap dan berbicara
dengan bebas sebagai "anggota publik", terutama bila menyangkut kepentingan publik. Karena ruang publik bukan sekadar ruang fisik, tapi juga "ruang wacana" dan "ruang komunikasi" maka ruang publik dalam telaah Habermas juga berkaitan dengan masalah "bentuk komunikasi publik" tentang hal-hal yang berkaitan dengan publik, yang Habermas menyebutnya "political public sphere"

Prinsip-prinsip ruang publik melibatkan diskusi yang terbuka tentang berbagai persoalan di mana argumentasi diskursif digunakan untuk menegaskan kepentingan umum. Oleh karena itu, ruang publik mengisyaratkan kebebasan berpendapat dan berkumpul (freedoms of speech and assembly), kebebasan pers, dan adanya kebebasan untuk berpartisipasi dalam debat politik dan pembuatan keputusan. Jadi, diskursus tentang ruang publik dalam pemahaman Habermas, dikaitkan dengan wacana politik. Misalnya ia mengatakan bahwa kekuatan negara (state power) pada dasarnya merupakan kekuatan publik (public power), namun negara punya kewajiban tertentu terhadap publik, antara lain memberikan kesejahteraan, kepastian hukum memberikan informasi yang benar terhadap publik terhadap persoalan-persoalan yang merupakan hak publik untuk mengetahuinya. Jadi dalam konteks ini, ruang publik merupakan sebuah ruang yang menghubungkan negara (state) dan masyarakat (society), di mana publik merupakan "kendaraan" atau "wadah" untuk membentuk opini publik. Pendek kata, ruang publik seharusnya dapat menjembatani individu atau kelompok masyarakat yang ada dan bahkan antara individu, kelompok masyarakat, dan negara.

  1. Ruang Publik dan Formalisasi Syari'at Islam

Tidak sampai di situ, dalam konteks Indonesia yang mengadopsi nilai-nilai agama, debat terbuka tentang persoalan "kepentingan publik," institusi-institusi formal, dan kepentingan yang bersifat ideologis-religius sudah memiliki sejarah cukup panjang di kalangan Muslim. Selepas kejatuhan rejim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki sebuah tahapan baru perdebatan tentang peran Islam dalam kehidupan publik. Situasi ini ditandai oleh munculnya berbagai pandangan keagamaan atau gerakan keagamaan yang memiliki konsen serupa. Organisasi yang paling kasat mata diantaranya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berupaya mempromosikan Islam sebagai dasar negara dengan menyertakan penegakkan kembali Piagam Jakarta (the Jakarta Charter) ataupun menegakkan kembali konsep al-khilafah al-Islâmiyyah dengan mengadopsi Piagam Madinah (the Medina Charter, dustûr al-madînah) sebagai pilar historis dan politiknya, ataupun Front Pembela Islam (FPI) yang punya visi dan artikulasi tersendiri dalam memberikan treatmen terhadap instiusi-institusi sosial. Kemudian, wilayah publik menjadi subjek utama perdebatan di kalangan Muslim, selaras dengan munculnya kelompok-kelompok Muslim lain seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun Yayasan Paramadina yag sudah terlebih dahulu berdiri dan cenderung mengangkat isu-isu yang agak berseberangan yang direpresentasikan dengan dukungan mereka terhadap model sistem sosial dan politik demokrasi. Dalam konteks ini, penulis sendiri akan lebih memokuskan diskusi kepada dua persoalan: pertama, bagaimana kelompok-kelompok yang ada memaknai niversalisme Islam pada wilayah publik, dan kedua, bagaimana ruang publik digunakan arus wacana tertentu yang memberikan citra sendiri tentang Islam di Indonesia.

HTI menekankan bahwa Syari'at Islam mencakup masalah publik dan privat sekaligus. Pada level privat, Syari'at Islam meliputi hukum keluarga (pernikahan, perceraian, dan waris) dan masalah ekonomi atau masalah keuangan lainnya (perbankan, zakat, dsb). Pada level publik, syariah mengatur hal-hal seperti kewajiban melaksanakan ajaran agama (kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan, pelarangan alkohol, judi, dsb), realisasi hukum-hukum kriminal, dan menegakkan Islam sebagai dasar negara melalui merestorasi al-khilâfah.[17] Menarik untuk dicermati lebih jauh fakta bahwa HTI mengklasifikasikan pelaksanaan ajaran Islam seperti mengenakan jilbab kepada wilayah publik, bukan privat, dan pada saat yang sama menempatkan masalah perekonomian pada sektor privat, bukan sebagai kebutuhan umat secara kolektif.

2. Universalisme Islam dan Sekularisasi Institusi Formal

Pemikiran tentang kepentingan publik, institusi formal dan posisi agama di dalamnya dilontarkan oleh kelompok lain yang relatif memiliki ide berbeda dan berseberangan. Di Indonesia, cendekiawan Nurcholish Madjid, pendiri Yayasan Paramadina, beberapa dekade silam sudah mengajukan tesis tentang relasi agama dan negara serta peran agama dalam institusi-institusi publik. Konsep "modernisasi" yang ikampanyekannya sesungguhnya dapat dikatakan sebagai wujud lain dari upaya universalisasi nilai-nilai Islam. Ia kerap menyatakan bahwa modernisasi yang diusungnya bukanlah dalam pengertian "werternisasi," sebuah proses yang sempat menyertai pembaharuan Islam di Turki, melainkan "rasionalisasi," dan ia secara konsisten membawa gagasan-gagasan inklusivisme, pluralisme, dan demokrasi. Selaras dengan apresiasinya terhadap sekularisasi, gagasan Madjid tentang "Islam Yes, Partai Islam No," yang mengisyaratkan sikapnya dalam pemisahan antara agama dan politik telah mengundang perdebatan panjang di kalangan para akademisi dan politisi Muslim. Bila beberapa kelompok keagamaan seperti yang dikemukakan pada bagian sebelumnya cenderung menuntut formalisasi syari'at baik melalui restorasi "Piagam jakarta" ataupun "Piagam Madinah," Madjid secara politis cenderung untuk menghindari gagasan ini dan berkeinginan mendemonstrasikan Islam sebagai konsep etika universal yang dapat bersintesis dan berkompromi dengan konteks Indonesia.Dia berargumen bahwa eskpresi-ekspresi simbolik melalui formalisasi syari'at dalam UUD UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 1, akan membuka kotak Pandora dan boleh jadi memicu konflik horisontal dalam masyarakat Indoensia yang memang multi-religious. Dalam mendefinisikan peran agama dam ranah publik, Madjid menekankan pentingnya ijtihad dengan intensi bahwa universalitas etika Islam akan dapat menemukan tempatnya dalam konteks Indonesia. Baginya, Pancasila sebagai dasar negara adalah "rekonsiliasi ideal" antara spirit Islam dan alam plural masyarakat Indonesia. Untuk menguatkan formasi dan komitmen keumatan di Indonesia, Madjid mencoba memodifikasi struktur berpikir di kalangan Muslim, dari orientasi politik kepada orientasi intelektual dan budaya. Melalui program "sekularisasi"-nya, Madjid juga mengharapkan bahwa kaum Muslim dapat men-sekularkan apa yang seharusnya sekular seperti institusi politik, budaya, dan sosial.

3. Moderatisme dan Dilema Islam Mainstream

Mayoritas masyarakat Indonesia dianggap sebagai moderat dalam pemikiran dan aksi. Moderatisme ini umumnya dimaknai sikap moderat dalam cara pandang politik yang digunakan. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sejauh ini dianggap sebagai organisasi yang sangat esensial dalam merepresentasikan moderasi Islam Indonesia. Sudah beberapa dekade silam sarjana seperti Deliar Noer, Mitsuo Nakamura,[ Greg Barton, dan Greg Fealey mencap organisasi ini sebagai modernis-reformis dan traditionalis. Namun demikian, pembedaan semacam ini sudah tidak signifikan lagi saat ini, terutama ketika kedua organisasi tersebut acap dikategorikan sebagai kelompok "Islam moderat" seiring dengan kemunculan dua kubu yang sangat berseberangan, yakni kelompok revivalis-konservatif dan liberalprogresif. Moderatisme yang ditunjukkan Muhammadiyah dan NU dalam wacana agama dan politik di Indonesia telah menarik perhatian sarjana Barat seperti Robert Hefner, Martin van Bruinessen, dan Andrée Feillard yang menyebut kedua organisasi ini sebagai "pillars of civil society."



















BAB III

PENUTUP


Demikianlah paparan makalah yang berjudul UNIVERSALISME semoga bermanfaat bagi teman – teman mahasiswa. amin



























DAFTAR PUSTAKA


http://psap.or.id/jurnal.php?id=7

http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/esai/49-sosiologi/362-mendefinisikan-universalisme-islam.html

kata pengantar historis dan doktriner

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah. Sholawat dan salam kepada Rasulullah. Berkat limpahan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini.

Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan . Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa PAI Madin . Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen pembimbing kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang.







Banyuwangi, 4 januari 2010

Penyusun,



Siti Munawaroh





DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

  1. Latar Belakang 1
    1. Rumusan Masalah 1

BAB II PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pendekatan 2
  2. Pendekatan Teologi Normatif 2
    1. Pendekatan Missionaris Tradisional 3
    2. Pendekatan Apologetik 4
  3. Pendekatan Sosiologis 4

BAB III PENUTUP 6

DAFTAR PUSTAKA 7



kontemporer

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak hanya lagi dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativisme ajaran wahyu, meskipun fenomena ini sampai kapan pun adalah ciri khas daripada agama-agama yang ada, tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut yang terkit erat dengan historisitas pemahaman dan interprestasi orang-perorang atau kelompok-perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dlam kehidupan sehari-hari.

Timbulnya sikap keberagaman yaang demikian juga bisa dilacak penyebabnya dari cara umat tersebut keliru dalam memahami Islam. Islam yang muatan ajarannya banyak berkaitan dengan masalah-masalah sosial sebagaimana tersebut belum dapat diangkat ke permukaan disebabkan metode dan pendekatan yang kurang komprehensip. Dari segi alat yang digunakan untuk memahami Islam, misalnya kita melihat cara yang bermacam-macam antara satu dan yang lainnya tidak saling berjumpa. Mukti Ali misalnya mengatakan, jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam maaka tampak 3 cara yang jelas. Tiga pendekatan adalah naqli (tradisional), pendekatan secara aqli (rasional), dan pendekatan kasyf (mistis). Dalam memahami agama seharusnya ketiga pendekatan tersebut digunakan secara serempak bukan terpisah-pisah.

B. PERMASALAHAN

A. Pengertian Pendekatan

B. Pendekatan Teologi Normatif

C. Pendekatan Sosiologis




BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pendekatan

Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalisti, atau penelitian filosofis.

Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya

  1. Pendekatan Teologi Normatif

Menurut M. Amin Abdullah teologi pasti mengacu kepada agama tertentu. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar. Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era komtemporer ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam yaitu pemikiran keagamaan fundalisme, modernis, mislanis, dan tradisionalis. Salah satu ciri teolog masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi.

Pendekatan teologis normatif semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat ini. Kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi masa kritis yang termanifestasikan dalam budaya tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empiris faktual. Menurut Ira M. Lapindus istilah teologi masa kritis yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya.

Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.

Pendekatan Teologis Normatif oleh Charles J. Adams diklasifikasi menjadi beberapa bagian, yaitu:

  1. Pendekatan Missionaris Tradisional

    Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat.

    Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.Dalam konteks itu karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.

  2. Pendekatan Apologetik

    Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah "keasyikannya" (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.

  1. Pendekatan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaanya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup bersama. Sementara itu Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.

Jalaluddin Rakhmat dalam Islam Alternatif menunjukkan 5 alasan pokok untuk memahami agama melalui pendekatan sosiologi. Alasan tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Dalam Al-Qur'an atau kitab-kitab hadist, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
  2. Bahwa ditekankan masalah muamalah (sosial) dalam Islam adalah kenyataan bahwa apabila urusan ibadah bersaamaan waktunya dengan urusan sosial yang penting maka ibadah boleh diperpendek.
  3. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan akan diberi ganjaran lebih besar daripada yang bersifaat perorangan.
  4. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan maka tebusannya adalah melakukan suatu yang ada hubungannya dengan sosial.
  5. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.

Melalui pendekatan sosiologi agama dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam pendekatan sosiologi terhadap agama menumbuhkan ilmu sosiologi aghama, maka dapat dikatakan titik berangkat peneliti ada dua, yaitu sebagai sarjana sosiologi dan sarjana ilmu agama. Jadi, pendekatan sosiologi adalah mempersoalkan fungsi dan perkembangan integrasi-integrasi sosial atau gerakan-gerakan sosial keagamaan.

Dalam sosiologi terdapat banyak logika teoritis yang dikembangkan untuk memahami berbagai fenomena sosial keagamaan. Diantara pendekatan itu yang sering digunakan salah satunya ialah konflik.




.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Pendekatan merupakan paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang digunakan daalam memahami agama.

2. Pendekatan teologis normatif dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan empiris dari suatu keaagamaan dianggap sebagai yang paling benar.

3. Pendekatan antropologi dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

4. Pendekatan sosiologi adalah mempersoalkan fungsi dan perkembangan integrasi-integrasi sosial atau geraaakan-geraakan sosial keagamaan.

5. Pendekatan konflik yang sering dipakai ialah pendekatan tesis, antitesis, dan sintesis.

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga sedikit uraian kami ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Penulis sangat menyadari, bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan adanya kritikan yang konstruktif dan sistematis dari pembaca yang budiman, guna melahirkan sebuah perbaikan dalam penyusulan makalah selanjutnya yang lebih baik.










DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990, Cet. 2.

Abdullah, Yatmin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006, Cet.1.

http://cfis.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=87 diakses tanggal 28 September 2009

Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998, Cet. 2

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 5.
Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis, Jakarta: Grafindo Persada, 2006.

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

        Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.

        Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar.

  2. Tujuan

        Tujuan pluralisme sejalan dengan kehidupan damai dalam perbedaan walaupun berbeda pandangan dan keyakinan. Islam sebagai agama damai tentu mendukung tujuan damai dari plurarisme. Terdapai nilai rujukan dalam Al Qur'an maupun pendiri agama Islam (Muhammad saw) bagaimana kita berkeyakinan terhadap agama sendiri dan bagaimana kita bersikap dalam hidup bermasyarakat dengan berbagai penganut agama lain. Dalam hal ini Islam mendukung sepenuhnya tujuan damai dari pluralisme, bukan sebaliknya menentang tujuan kehidupan yang damai dalam perbedaan. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.

    BAB II

    PLURALISME ATAU PARALELISME

  3. Pengertian Pluralisme

        Pluralisme agama dan kehidupan bermasyarakat dengan agama lain dalam Islam.Tidak semua konsep atau istilah ada dalam Islam, tapi Islam menyediakan rujukan yang lengkap untuk tatanan nilai sosial. Perbedaan pendapat terhadap suatu konsep terutama terkait dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari ditengahi dengan menyaring implikasi terhadap nilai-nilai atau etika dalam masyarakat.

        Dalam memahami suatu ayat, para ulama' telah menganjurkan agar menggunakan riwayat turunnya ayat, yang disebut dengan asbab nuzul. Adapun asbab nuzulnya sayat ini adalah; Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan guru-gurunya dari golongan Nasrani dan Yahudi. Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, "Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka." Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan."

        Ibnu Katsir menyatakan, "Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, "Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi."[Ali Imron:85]. Ibnu 'Abbas menyatakan, "Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan, agama, kepercayaan, dll, ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari'atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan."

    "Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali Imron:19).
    "Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi." (Ali Imron:85).

  4. Pluralisme Dan Ilmu Sosial

        Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

    Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.

    Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.

        Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

        Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

  5. Pluralisme Dan Agama

        Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait.

        Fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.

        Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.

        Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari.

        Selain itu aspek penting fahaman ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn 'Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn 'Arabi tentang Pluralisme Agama).

        Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysics of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai din kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Di situ argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas.


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     

    BAB III

    PENUTUP

  6. Kesimpulan

        Dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia, alih-alih terpinggirkan, agama malah semakin menguat peranannya. Tidak (atau belum) ada tanda-tanda agama mengalami arus surut. Sebaliknya, secara hiperbolis, mungkin juga sinikal, dapat dikatakan bahwa agama sedang memainkan peranan besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    Menyikapi fenomena ini, soal yang patut diajukan adalah adakah agama-agama yang memainkan peranan itu bisa duduk bersama dan berdialog.mengingat berbagai konflik dan kasus-kasus kekerasan yang bernuansa agama. Adakah agama-agama bisa meretas pluralisme yang secara optimistis diharapkan menjadi alas bagi terciptanya kerukunan bangsa yang plural ini.

  7. Saran

        semua orang Indonesia adalah orang beragama. Kalau dalam agama-agama yang dianut terdapat nilai-nilai pluralistik maka seorang beragama di Indonesia haruslah seorang pluralis. Kalau di antara orang beragama terjalin kerukunan, hormat-menghormati dan kerja sama, dapat diharapkan bahwa sikap yang sama akan menular ke bidang-bidang yang lain semacam politik, sosial, budaya.


     


     


     


     

    DAFTAR PUSTAKA

    Al Qurtuby, Sumanto., Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005).

    Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)

    Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010)

    Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, ( Bandung: Alifya, 2004)

    Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)

KATA  PENGANTAR

Segala  puji  hanya  milik  Allah.  Sholawat  dan  salam  kepada  Rasulullah.  Berkat  limpahan  rahmat-Nya  penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah  ini demi menunjang pengetahuan kta.

Untuk mencapai maksud tersebut maka perlu adanya kerja sama yang sinerji dari berbagai pihak dalam menumbuhkembangkan akhlak mulya dan menghancur leburkan faktor-faktor penyebab maraknya akhlak yang buruk

Semoga  makalah  ini  bermanfaat  untuk  memberikan  wawasan  kepada  mahasiswa  PAI Madin .  Dan  tentunya  makalah  ini  masih  sangat  jauh  dari sempurna.  Untuk  itu  kepada  dosen  pembimbing  kami  minta  masukannya  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  kami  di  masa  yang  akan  datang.


 


 


 


 


 

                                                                              Banyuwangi,4 Januari 2010

                                                                                               Penyusun,


 


 

Eko Prayitno


 


 


 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR    i

DAFTAR ISI    ii

BAB I PENDAHULUAN    1

  1. Latar Belakang    1
  2. Rumusan Masalah    1
  3. Tujuan Penulisan    1

    BAB II HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA    3

  4. Pengertian Agama    3
  5. Hubungan Agama Dan Manusia    5

    C. Agama Sebagai Petunjuk Tata Sosial    6

    BAB III PENUP    7

    DAFTAR PUSTAKA    8

BAB I
PENDAHULUAN

Islam telah menjadi kajian yang menarik banyak minat belakangan ini. Studi Islam pun makin berkembang. Islam tidak lagi dipahami dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seseorang memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, tetapi dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.

Studi agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. 
Dalam perkembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme. Bahkan oleh Muhammad Abdul Rouf, Islamic Studies disebut juga dengan oriental studies.
Sarjana barat sebenarnya telah lebih dulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari berbagai aspek : sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya. Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu modern untuk mengkaji Islam mulai digemari, Islam tidak lagi dipahami hanya dengan instrumen kajian tradisional, yakni mengkaji Islam dari sudut doktrinalnya.


 


 


 


 


 

BAB II

PENDEKATAN STUDI ISLAM

  1. Pendekatan Islam

Ada dua hal yang mendasar yang penting untuk dipahami dalam studi Islam adalah definisi tentang Islam dan agama. Menurut Adams sangat sulit untuk bisa merumuskan definisi tentang Islam. Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang, dan selalu terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah "an on going process of experience and its expression, which in historical continuity with the message and influence of the prophet. Sedangkan konsep agama meliputi dua aspek, yaitu pengalaman dalam dan perilaku luar manusia (man's inward experience and of his outward behavior).  Pengalaman dalam dan perilaku luar manusia itu saling terkait. Perilaku luar manusia secara umum merupakan manifestasi dari pengalaman dalamnya, walaupun hal ini tidak berlaku mutlak.

Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana dikutip Adams dalam mendefinisikan agama Islam, berpendapat bahwa dalam agama terdapat dua aspek, yaitu aspek faith, yaitu, aspek internal, tak terkatakan, transenden, dan dimensi pribadi kehidupan beragama, dan aspek tradition, yaitu aspek eksternal keagamaan, sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Dengan demikian, aspek yang tersembunyi dan yang nyata dari fenomena keberagaman harus dieksplorasi secara komprehensif oleh studi Islam.  Diantara dua aspek tersebut tidak ada yang berdiri sendiri, melainkan antar satu dengan yang lain saling terkait.

Kaitannya dengan studi Islam, menurut Adams tidak ada metode yang paling tepat untuk mendekati aspek kehidupan dalam atau faith seseorang dan masyarakat beragama. Tetapi pengkaji harus menggunakan tradition atau aspek luar sebagai keberagamaan sebagai pijakan dalam memahami dan melakukan studi agama. Dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama, pengkaji harus melampaui dimensi tradition agar mampu menjelaskan dimensi faith seseorang.

Menurut Adams, pengkaji Islam dalam melakukan studinya bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif meliputi tiga pendekatan, yaitu pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan simpatik (irenic). Sedangkan pendekatam deskriptif meliputi pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan sosial dan pendekatan fenomenologis.

B. Pendekatan normatif dan keagamaan

1.    Pendekatan Misionaris Tradisional

Pada abad 19 terjadi letusan aktivitas misionaris di berbagai gereja, sekte, dan ajaran kristen yang berkaitan dengan pertumbuhan politik , ekonomi, dan militer Eropa yang mempengaruhi banyak tempat di Asia dan Afrika. Dorongan aktivitas misionaris tidaklah muncul karena semakin bagusnya kesadaran pada peradaban non Barat dan para pengikut kolonialisme, tetapi lebih disebabkan oleh ajaran Kristen sendiri. Akibatnya, banyak individu menempuh perjalanan ke Asia dan Afrika bersamaan dengan para opsir kolonial untuk mengkristenkan orang-orang di wilayah twrsebut dan menawarkan budaya Barat pada mereka. Para misionaris dan opsir kolonial bertekad bulat untuk bisa mendekatkan diri dengan penduduk di wilayah tersebut, karena itu mereka merasa perlu untuk belajar bahasa masyarakat setempat dan turut serta dalam kehidupan dan kebudayaan mereka. Akhirnya, banyak misionaris yang fasih dalam bahasa kaum muslimin dan terus mempelajari aspek kebudayaan. Dua kelompok inilah, misionaris dan kolonialis, yang menjadi pengembangan keilmuan Islam di Barat.

2.    Pendekatan Apologetik

Di awal abad XX, gerakan umat Islam ditandai dengan sikap apologetik terhadap agama. Sikap Apologetik ini sangat kuat untuk membangkitkan diri dari kesadaran palsu menuju kesadaran beragama yang utuh dan sekaligus sebagai respon atas peradaban Barat yang terus mengikis peradaban Islam sebagai akibat dari kolonoalisasi (westernisasi).

Salah satu bentuk sikap apologetik muslim adalah dengan berusaha membangun nilai-nilai Islam dan membangkitkan kembali warisan-warisan Islam yang mulai ditinggalkan, meningkatkan pelayanan terhadap muslim dengan berbagai cara, membentuk sense of identity of Islam di setiap generasi muda. Usaha ini telah menghasilkan sesuatu yang sangat berarti dalam hal meningkatkan kesadaran beragama yang sebelumnya mulai terlupakan oleh komunitas muslim.

Agaknya, gerakan apologetik ini cukup berhasil. Mereka mengumandangkan Islam sebagai "favorable manner" dan peradaban modern yang civilize. Salah satu karya yang bisa memberikan gambaran tentang hal ini adalah Spirit of Islam, karya Sayyid Amir Ali (1922).

3.    Pendekatan Simpatik (irenic)

Di tengah-tengah Petang Dunia II, muncul gerakan distinktif yang bertujuan untuk memberikan apresiasi terhadap Islam. Gerakan ini diwakili oleh lingkungan agama dan universitas. Karena ternyata gerakan kolonialisme yang sekaligus misionarisme banyak meninbulkan masalah di dunia Islam (khususnya dalan hal pencitraan negative melalui tulisan-tulisan sarjana Barat), maka ada usaha untuk memecahkan masalah-masalah yang prejudiced, antagonistic, dan sikap-sikap orang Kristen Barat yang (selalu) merendahkan Islam. Pada saat bersamaan digagas "dialog" dengan muslim untuk membangun jembatan mutual sympathy antara tradisi agama dan persoalan kebangsaan.

Salah satu contoh pendekatan irenic dalam studi Islam adalah karya Kenneth Cragg. Melalui beberapa karya yang ditulis, Cragg menunjukkan kepada Kristen Barat beberapa unsur keindahan dan nilai keberagamaan yang menjiwai tradisi Islam, dan kewajiban orang Kristen adalah terbuka atau menerima hal tersebut. Cragg mampu menggambarkan bahwa Islam memperhatikan banyak problem dan isu yang juga fundamental menurut umat Kristen. Inti pesan Cragg adalah makna Iman Islam adalah trealisasi dalam pengalaman Kristiani. Namun, dalam analisis akhirnya, Cragg tetap terpengaruh keyakinan Kristennya, bahkan dikatakan bahwa orang Islam harus menjadi Kristen agar Islam menjadi Islam Kaffah. Kontribusi Cragg melalui karyanya adalah bermanfaat untuk memberantas pandangan negatif terhadap Islam yang berkembang luas dikalangan Barat.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga sedikit uraian kami ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Penulis sangat menyadari, bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan adanya kritikan yang konstruktif dan sistematis dari pembaca yang budiman, guna melahirkan sebuah perbaikan dalam penyusulan makalah selanjutnya yang lebih baik.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA

Qodri Azizi, Pengembangan Ilmu-ilmu KeIslaman, Jakarta: Dippertais, 2005.   

Carl W. Ernst, "The Study of Religion and The Study of Islam", Paper Given at Workshop on "Integrating Islamic Studies in Liberal Art Curricula" University of Washington, Seattle WA, March 6-8, 1998

Siti Shofiah

PAI (madin)


 


 


 



 


 


 


 


 


 


 

FENOMENA

KEBERAGAMAAN


 


 


 


 


 


 


 


 

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين الذى وقق من شاء من عباده لسلوك الطريق المستقيم. أحمده سبحانه واشكره على سوابغ نعمه واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له وان محمدا عبده ورسوله الدّاعى الى كل خير والمخذر من شرّ. اللهم صلى وسلّم على عبدك ورسولك محمّد وعلى اله وصحبه أجمعين.

Fenomena keberagamaan adalah sesuatu yang tidak pernah selesai dibicarakan,. Kita sering mendengar orang-orang di negara yang sudah majupun masih tetap membicarakan dan mengkritik tentang fenomena keberagamaan. Alasan fenomena keberagamaan tidak pernah selesai dibicarakan mungkin karena : Pertama, sudah merupakan fitrah manusia selalu menginginkan yang lebih baik. Kedua, karena pengaruh pandangan hidup yang dianut oleh seseorang atau masyarakat. Ajaran agamapun membenarkan adanya sifat tidak pernah puas itu, maksudnya mungkin agar manusia selalu maju, selalu berusaha untuk menjadi lebih baik.

Menurut Al-Qur'an ilmu Allah itu sangat luas, "sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah, sungguh habislah lautan itu sedangkan kalimat-kalimat Allah belum habis ditulis, sekalipun ditambah lagi sebanyak itu". Oleh sebab itu Nabi-pun memerintahkan "carilah ilmu itu mulai dari ayunan ibu sampai masuk lubang lahat (wafat)".


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR ISI


 

HALAMAN JUDUL .    i
KATA PENGANTAR    ii
DAFTAR ISI    iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang    1

B. Rumusan Masalah    1

BAB II PEMBAHASAN

A. Fenomena Keberagamaan    2

B. Asal Mula Agama    3

1. Teori jiwa    3

2. Teori batas akal    4

3. Teori krisis dalam hidup individu    4

4. Teori kekuatan luar biasa    5

C. Fenomena Agama dan Sosial    5

1. Indikator Optimisme    5

2. Ekspresi Keharmonisan    6

BAB III PENUTUP

  1. Kesimpulan    8
  2. Saran    8

DAFTAR PUSTAKA    9


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Fenomena  munculnya agama karena masalah adanya kekuatan  yang dianggap lebih tinggi dari kekuatan yang ada pada dirinya sehingga mereka mencari lebih dalam dari mana asal kekuatan yang ada pada alam baik berupa gunung laut langit dan sebagainya, dan ketika mereka tidak dapat mengkajinya maka disembalah karena mereka berpikiran kekuatan alam itu memiliki kekuatan yang luar biasa bisa menghidupi beribu bahkan berjuta-juta umat manusia sehingga muncullah agama adalah salah satu usaha manusia untuk mendekatkan diri pada kekuatan supranatural.

  1. Rumusan masalah
    1. Fenomena Keberagamaan
    2. Asal Mula Agama
    3. Fenomena Agama Dan Sosial


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       


       

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Fenomena Keberagamaan

Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia. Sejak awal manusia berbudaya, agama dan kehidupan beragama tersebut telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan bentuk dari semua perilaku budayanya. Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dari adanya rasa ketergantungan manusia terhadap kekuatan ghaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka harus berkomunikasi untuk memohon bantuan dan pertolongan kepada kekuatan ghaib tersebut, agar mendapatkan kehidupan yang aman, selamat dan sejahtera. Tetapi apa dan siapa kekuatan ghaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut, dan bagaimana cara berkomunikasi dan memohon perlindungan dan bantuan tersebut, mereka tidak tahu. Mereka merasakan adanya dan kebutuhan akan bantuan dan perlindungannya. Itulah awal rasa Agama, yang merupakan desakan dari dalam diri mereka, yang mendorong timbulnya perilaku keagamaan. Dengan demikian, rasa Agama dan perilaku keagamaan merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan fitrah manusia.

Fitrah adalah kondisi sekaligus potensi bawaan yang berasal dari dan ditetapkan dalam proses penciptaan manusia. Di samping fitrah beragama, manusia memiliki fitrah untuk hidup bersama dengan manusia lainnya atau bermasyarakat. Dan fitrah pokok dari manusia adalah fitrah berakal budi, yang memungkinkan manusia berbudi daya untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup, mengatur dan mengembangkan kehidupan bersama. Serta menyusun sistem kehidupan dan budaya serta lingkungan hidup yang aman dan sejahtera. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dengan akal budinya berkemampuan untuk menjawab tantangan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya baik yang bersumber dari rasa keagamaan maupun rasa kebersamaan (bermasyarakat), serta rasa untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup. Dan dengan akalnyalah manusia membentuk kehidupan budaya, termasuk di dalamnya kehidupan keagamaannya.

Selanjutnya, Agama dan kehidupan keagamaan yang terbentuk bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan akal serta budi daya manusia disebut dengan Agama Akal atau Agama Budaya. Sementara itu sepanjang kehidupan manusia, Allah telah memberikan petunjuk melalui para Rasul tentang Agama dan kehidupan keagamaan yang benar. Para Rasul itu juga berfungsi untuk memberikan petunjuk guna meningkatkan daya akal budi manusia alam menghadapi dan menjawab tantangan serta memecahkan permasalahan kehidupan umat manusia yang terus berkembang sepanjang sejarahnya. Agama yang dibawa Rasul Allah itu bukan hanya berkaitan dengan kehidupan keagamaan semata, tetapi juga menyangkut kehidupan-kehidupan sosial budaya yang lainnya. Agama ini mendorong agar kehidupan keagamaan, kehidupan sosial dan kehidupan budaya lainnya dapat tumbuh berkembang bersama secara terpadu untuk mewujudkan suatu sistem budaya dan peradaban yang Islami.

  1. Asal Mula Agama

Masalah asal mula agama menjadi objek perhatian para ahli pikir sejak lama. Masalah mengapa manusia percaya pada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari dirinya dan mengapa manusia melakukan berbagai cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan itu.

Berbagai macam teori tentang asal mula agama telah dikemukakan oleh para  Sanjaya dan berbagai disiplin ilmu terutama ilmuwan sosial. Mereka telah mencoba meneliti asal usul agama atau menganalisis sjak kapan manusia mengenal agama dan kepercayaan terhadap Tuhan. Di bawah ini, beberapa teori dari para ilmuwan yang telah melakukan penelitian

1. Teori jiwa

Teori ini berpendapat bahwa agama yang paling awal bersama dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya di huni oleh makhluk matori, tetapi juga oleh makhluk immatori yang disebut jiwa (anima). Pendapat ini dipelopori oleh Edward Burnet Taylor (1832-1917).

Mengatakan bahwa asal mula agama bersama dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa mereka memahami adanya mimpi dan kematian apabila orang meninggal dunia. Rohnya mampu hidup terus walaupun jasadnya membusuk.

2. Teori batas akal

Teori ini menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama di karenakan manusia mendalami gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalny. Teori batas akal ini dikemukakan oleh seorang ilmuan besar dari Inggris James G. Frazer. Menurut mereka bahwa kebudayaan di dunia ini sebagian batas akal manusia itu masih amat sempit karena tingkat kebudayaan masih sangat sederhana. Oleh karena itu berbagai persoalan hidup banyak yang tidak dipecahkan dengan akal mereka, maka mereka memecahkannya melalui magic atau ilmu gaib.

Pada mulanya manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya.

3. Teori krisis dalam hidup individu

Teori ini mengatakan bahwa kelakuan keagamaan manusia itu mulanya muncul  untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Teori ini berasal dari M. Crawley dalam bukunya The True of Tefe (1905) yang diuraikan secara luas dan terperinci oleh A. Van Gennep dalam  bukunya Rites de Passage (1910).

Menurut kedua sarjana tersebut dalam waktu sejarah hidupnya, manusia mendalami banyak krisis yang terjadi pada masa tertentu krisis yang terjadi pada tertentu krisis tersebut menjadi objek perhatian. Betapa pun bahagianya seseorang ia harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya terutama berupa bencana, seperti sakit dan maut. Sangat sukar dihindarinya walaupun di hadapi dengan kekuasaan dan kekayaan harta benda.


 


 

4. Teori kekuatan luar biasa

Teori ini mengatakan bahwa agama dan sikap religious manusia terjadi karena adanya kejadian luar biasa yang menimpa manusia yang terdapat dilingkungan  alam di seklilingnya.

Antropologi itu menguraiakan teorinya di awali dengan satu sanggahan terhadap pendapat Edward B. Taylor yang menyatakan bahwa timbulnya agama itu karena adanya kesadaran manusia terhadap adanya jiwa.


 

C.
Fenomena Agama Dan Sosial

1. Indikator Optimisme

Sungguhpun antusiasme tersebut tidak serta merta mencerminkan kualitas keberagamaan seseorang, namun paling tidak hal itu menunjukkan adanya optimisme masyarakat bahwa agama dapat menyelesaikan problem hidup. Tangisan dalam acara zikir akbar misalnya, menggambarkan beban hidup yang selama ini belum mampu diatasi. Kekhidmatan dalam mendengarkan alunan bacaan kitab suci al-Qur'an dan petuah para agamawan juga menyiratkan harapan adanya solusi dan bekal dalam menghadapi beratnya beban hidup tersebut.

Pada dasarnya optimisme masyarakat terhadap kemampuan agama dalam menyelesaikan problem hidup bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Sejak lama, kehidupan umat manusia tidak bisa dilepaskan dari peran agama. Agama seakan-akan hadir bersamaan dengan munculnya misteri dan problem hidup. Dalam masyarakat agraris di masa lalu, faktor misteri kekuatan alam menjadi penyebab utama mengapa manusia beragama. Ketergantungan masyarakat terhadap alam berbanding lurus dengan peran agama dalam masyarakat. Semakin mereka mengalami kecemasan dan kebingungan berkenaan dengan sumber nafkah mereka, maka kebutuhan mereka terhadap agama semakin kuat. Mereka sangat mempercayai adanya kekuatan di luar alam (Tuhan) yang mengatur kesuburan alam.

Sedangkan dalam masyarakat industri, misteri dan problem hidup berkaitan dengan eksistensi manusia menjadi motif utama dalam beragama. Masyarakat industri ditandai dengan adanya rasionalisasi pekerjaan, dimana pekerjaan dispesifikasi dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan keahlian seseorang. Sehingga semakin trampil dan ahli seseorang, akan semakin mendapatkan jabatan yang tinggi. Konsekuensinya, masyarakat akan terbangun dalam suasana hirarkis. Problem eksistensial akan banyak menimpa pekerja di tingkat pelaksana atau operasional. Mereka mengalami keterasingan karena terjebak dengan rutinitas yang mekanik. Seperti mesin yang bekerja sesuai dengan setting yang sudah diterapkan. Itulah sebabnya mengapa antusiasme terhadap kegiatan-kegiatan agama menguat dalam masyarakat kota.

Terlepas dari perbedaan motif beragama dalam setiap masyarakat, kebutuhan terhadap agama menggambarkan adanya peran agama yang sangat kuat dalam kehidupan manusia. Antusiasme masyarakat terhadap agama memberikan "ruang" bagi agama untuk mengintervensi dan mengontrol arah kehidupan manusia. Sesuatu bernilai baik atau pun buruk tergantung pada pandangan agama, sehingga agama menjadi penentu dan pengontrol kualitas kehidupan.

2. Ekspresi Keharmonisan

Peran agama itu tentu memberikan harapan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan keharmonisan menjadi salah satu kondisi yang sangat diharapkan oleh umat manusia. Mengenai hal ini, kontribusi agama dalam membangun perdamaian dan keharmonisan agak variatif. Di samping berkontribusi dalam menciptakan perdamaian, agama juga kerap terlibat dalam konflik dan peperangan.

Sebenarnya benturan antar pemeluk agama itu lebih disebabkan pada sakralisasi identitas agama. Sakralisasi itu mengakibatkan klaim kebenaran pada kelompok agamanya sendiri, dan kesesatan pada kelompok agama lain. Namun demikian, benturan itu tidak sepenuhnya disumbangkan oleh agama. Dalam banyak kasus perang antaragama, motif politik dan persaingan ekonomi lebih dominan. Keterlibatan agama lebih pada pemanfaatan "identitas transenden" yang mudah untuk dibangkitkan dan diletupkan. Dengan kata lain, agama digunakan sebagai alat mobilisasi pertikaian. Padahal dalam relung hati yang paling dalam, manusia membutuhkan agama justru untuk perdamaian dan keharmonisan hidup. Maka semakin jauh keterlibatan agama dengan kontestasi politik dan ekonomi, akan semakin besar kontribusinya dalam membangun perdamain.

Bahkan dalam studi sosiologi, Durkheim mengatakan bahwa kohesivitas (kepaduan) sosial akan memancarkan kualitas keagamaan. Dalam penelitiannya, Durkheim melihat bahwa ritus agama—bahkan munculnya agama itu sendiri—merupakan ekspresi dari keharmonisan masyarakat. Penelitian itu menggambarkan bahwa agama akan senantiasa selaras dengan perdamaian dan keharmonisan. Hubungan antara keharmonisan dan agama dapat terjadi secara timbal balik. Semakin besar peran agama—tentu saja agama yang netral dari pertarungan politik—dalam sebuah masyarakat, maka akan semakin tercipta keharmonisan. Dan semakin harmonis sebuah masyarakat, akan semakin memancarkan kualitas-kualitas keagamaan.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan
    1. Agama pada umumnya dan islam pada khususnya dewasa ini semakin dituntun peranannya untuk menjadi pemandu dan pengarah kehidupan manusia agar tidak terperosok kepada keadaan yang merugikan dan menjatuhkan martabatnya sebagai mahluk mulia.
    2. Dalam situasi yang semakin global seperti sekarang ini dihadapkan kepada berbagai tantangan. Dalam keadaan demikian, dijumpai adanya manusia yang berhasil meyikapi kehidupan global tersebut secara lebih bermakna dan berguna, tetapi malah ada juga yang tidak tahu arah yang harus dituju.
    3. Munculnya agama karena manusia percaya pada suatu kekuatan yang dianggap  lebih tinggi dari dirinya dan melakukan berbagai cara untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan itu
  1. Saran

    Dengan penuh harapan dari penulis bahwa makalah ini, masih begitu jauh dari kesempurnaan sebagai suatu karya ilmiah. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritikan dan masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih.


     


     


     


     


     


     


     

    DAFTAR PUSTAKA

    Emile Durkhaim, Sejarah Agama. Jang Arafika, Jakarta. 2003.

    Abdullah Samsuddin, Agama dan Masyarakat, Logus Wacana Ilmu, Jakarta. 1997.


     


     

geo fles