Pesantren Kesayangan ku

Pesantren Kesayangan ku
PONDOK PESANTREN BAITUL MAGHFIROH

IQRO

PANDANGAN ISLAM TERHADAP NEGARA

MAKALAH

PANDANGAN ISLAM TERHADAP NEGARA


TUGAS



KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur kepada nabi dan rasul kita, Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni Nabi Besar Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau yang telah membawa kita dari jurang yang penuh kesesataan menuju sebuah kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kedamaian.

Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis syukuri, karna dengan kehendaknya, taufiq dan rahmatnya pulalah akhirnya penulis dapat menyelasaikan makalah ini. Adapun judul makalah ini adalah: "Pandangan Islam Terhadap Negara"

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan juga rekan-rekan yang selalu memberikan saran, koreksi dan motivasi yang sangat membangun. dengan harapan dan tujuan yang sangat mulia.

Makalah ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurang dan jauh dari kesempurnaan. Jadi saran, kritik dan koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari rekan-rekan semua.

Akhirnya, kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan. Dan dengan memanjatkan doa dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini menjadi amal dan mendapat ridho dan balasan serta ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.


Billahittaufiq Wal Hidayah


Banyuwangi, 01 Maret 2011


Penulis


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

BAB II PANDANGAN ISLAM TERHADAP NEGARA ....................... 2

  1. Dasar Islam Terhadap Negara ......................... 2
  2. Agama................................................................... 6
  3. Negara.................................................................. 6
  4. Paradigma Integralistik .................................... 10
  5. Paradigma Simbotik .......................................... 11
  6. Paradigma Sekularistik ..................................... 11

BAB III PENUTUP ............................................................................. 12

  1. Kesimpulan .................................................................. 12
  2. Saran ............................................................................. 12

DARTAR PUSTAKA .......................................................................... 13

BAB I

PENDAHULUAN

Allah SWT telah menurunkan risalah Islam. Dimana Dia menjadikan risalah tersebut berdiri diatas landasan akidah tauhid, yaitu akidah la Ilaha Illa Allah, Muhammadur Rasulullah.

Pandangan Islam dan Negara adalah pemerintahan yang menggunakan Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek hidup, seperti dasar undang-undang, mahkamah perundangan, pendidikan, dakwah dan perhubungan, kebajikan, ekonomi, sosial, kebudayaan dan penulisan, kesehatan, pertanian, sain dan teknologi, penerangan dan peternakan. Dasar negaranya adalah Al Quran dan Sunnah. Para pemimpin dan pegawai- pegawai pemerintahannya adalah orang-orang baik, bertanggung jawab, jujur, amanah, adil, faham Islam, berakhlak mulia dan bertakwa. Dasar pelajaran dan pendidikannya ialah dasar pendidikan Rasulullah, yang dapat melahirkan orang dunia dan orang Akhirat, berwatak abid dan singa, bertugas sebagai hamba dan khalifah ALLAH. Dasar ini terdapat dalam buku saya, PENDIDIKAN RASULULLAH.

Islam merupakan risalah yang universal, yang mengatur seluruh manusia. Ia juga mengatur seluruh masalah kehidupan, serta seluruh hubungan antara kehidupan itu dengan sesuatu yang ada dan sesudah kehidupan. Ia juga memecahkan seluruh masalah manusia, sebagai manusia (yang memiliki kebutuhan jasmani, naluri dan akal).

Begitu pula Islam juga telah membawa aturan paripurna, yang bersangkutan dengan berbagai problem interaksi didalam negara dan masyrakat, baik dalam maslah pemerintahan , ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik, baik yang menyangkut interaksi yang bersangkut umum, antara negara dengan anggota masyarakat.



BAB II

PANDANGAN ISLAM TERHADAP NEGARA

  1. Dasar Islam Terhadap Negara

Tinjauan hubungan agama-negara secara ideologis pertama-tama harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan (aqidah). Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya (An Nabhani, 1953). Oleh sebab itu, pembahasan hubungan agama-negara harus bertolak dari pemikiran mendasar tersebut, baru kemudian secara langsung dibahas hubungan agama-negara sebagai pemikiran cabang yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut.

Mengingat kini ideologi yang ada di dunia ada 3 (tiga), yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun setidaknya ada 3 (tiga) macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme, dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pelbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara.

Pandangan Yang Berkembang

Aqidah Sosialisme adalah Materialisme (Al Maaddiyah), yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Materilah asal usul segala sesuatu. Materi merupakan dasar eksistensi segala macam pemikiran. Dari ide materialisme inilah dibangun 2 (dua) ide pokok dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme (Ghanim Abduh, 1964).

Atas dasar ide materialisme itu, dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh ide materialisme. Bahkan agama dalam pandangan kaum sosialis hanyalah ciptaan manusia yang tertindas dan merupakan candu yang membius rakyat yang harus dimusnahkan dari muka bumi. (Lihat Karl Heinrich Marx, Contributon to the Critique of Hegel's Philosophi of Right 1957: 42).

Dengan demikian, menurut Sosialisme, hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan.

Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin 'anil hayah), atau sekularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui –walaupun hanya secara formalitas– namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri (Zallum, 1993).

Berdasarkan aqidah Kapitalisme, formulasi hubungan agama-negara dapat disebut sebagai hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari arena kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.

Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara', yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.." (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).

"[i]Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (Qs. al-Maa`idah [5]: 44).

Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia.

  • Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I'tiqad halaman 199 berkata:

"Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap."

  • Ibnu Taimiyah dalam Majmu'ul Fatawa juz 28 halaman 394 telah menyatakan:

"Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak."

Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang terkenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fil Islam hal. 17 mendefinisikan Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

  • Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah, jilid V, hal. 416:

"Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…"

Tak hanya kalangan empat madzhab dalam Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah juga termasuk Khawarij dan Mu'tazilah tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.

  • Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 mengatakan:

"Menurut golongan Syi'ah, mayoritas Mu'tazilah dan Asy'ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara'."

  • Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa' Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan:

"Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…"

  1. Agama

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.

Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah "religi" yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.

Agama Dalam bahasa Indonesia adalah Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu (Drs. Sidi Gazalba). dan Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.

  1. Negara

Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang berbeda dengan bentuk organisasi lain terutama karena hak negara untuk mencabut nyawa seseorang. Untuk dapat menjadi suatu negara maka harus ada rakyat, yaitu sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

Pengertian Negara menurut para ahli

  • Georg Jellinek : Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
  • Georg Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
  • Roelof Krannenburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
  • Roger H. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Negara di definisikan dengan alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat.
  • Harold J. Laski : Negara merupakan suatu masyarakat yang di integrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
  • Max Weber pun mendefinisikan bahwa Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
  • Sedangkan dalam konsep Robert M. Mac Iver, Negara di artikan dengan asosiasi yang menyelenggarakan penerbitan di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hokum yang di selenggarakan oleh suatu pemerintahan, yang mempunyai maksud dapat memberikan kekuasaan memaksa.
  • Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
  • Prof. Mr. Soenarko : Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.

Secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata- kata asing, yakni dari kata state yang berasal dari bahasa inggris, staat yang berasal dari bahasa belanda dan bahasa jerman, dan etat yang berasal dari bahasa prancis. Semua kata itu pada umumnya di ambil dari satu kata dari bahasa latin yaitu status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak (berdiri sendiri) dan tetap.

Kata status atau statum bisa juga di artikan sebagai standing atau station (kedudukan). Istilah tersebut di hubungkan dengan kedudukan persekutuan hidupmanusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae. Dari pengertian inilah kata status kurang lebih pada abad ke-16 ini di ikut sertakan dengan kata Negara sampai sekarang.

Secara terminologi suatu negara dapat di artikan sebagai organisasi tertinggi di antara saru kelompok masyarakat yang mempunyai keinginan untuk bersatu, hidup di suatu wilayah tertentu dan mempunyai pemimpin yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya mesyarakat (sekelompok orang), adanya daerah (wilayah), dan adanya pemerintahan yang berdaulat.

Dalam konsepsi islam dengan mengacu pada al-Qur'an dan sunnah rasul, tidak di temukan rumusan tentang Negara secara eksplisit, hanya saja di dalam asal mula hukum islam tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu konsep islam tentang negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu:

  1. paradigma tentang teori khilafah yang mempraktekkan segala sesuatu yang bersumber dari rasulullah, terutama biasanya merujuk pada masa khulafa al rasyidin
  2. paradigma yang bersumber pada teori imamah (dalam artian politik) dalam paham islam syi'ah.
  3. Paradigma yang sumbernya dari teori imamah atau pemerintahan.

Dari beberapa pendapat tentang beberapa definisi atau arti yang sudah saya paparkan tersebut, dapat di pahami secara sederhana bahwa apa yang di maksud dengan negara adalah statu daerah teritorial yang rakyatnya di perintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolostis dari kekuasaan yang sah.

Pada hakikatnya, Negara sendiri secara umum di artikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan mahluk social. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara pula, sehingga Negara sebagai penjelmaan kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.

Perdebatan Islam (masyarakat muslim) dan negara di awali dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur dan menyeimbangakan semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam sendiri sebagai agama yang komprehensif (mengandung pengertian yang luas dan menyeluruh) ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW. di Madinah. Di kota ini, Nabi mempunyai dua posisi atau bisa juga dikatakan bahwa nabi berperan ganda dalam masalah ini yaitu sebagai seorang yang memimpin agama islam, sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern si massanya. Posisi ganda ini di sikapi oleh kebanyakan kalangan yang ahli. Karena secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada "apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk negara"

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

Bersumber pada ayat ini menyimpulkan bahwa Agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk (Al-Qur'an) dan pedang penolong (sunnah rasul). Hal ini di maksudkan bahwa kekuasaan politik yang di simbulkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi Agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri, sedangkan polotik tidak lain sebatas alat unrtuk mencapai tujuan-tujuan luhur Agama.

  1. Paradigma Integralistik

Paradigma ini merupakan paham dan konsep hubungan Agama dan Negara yang menganggap bahwa Agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama-Negara, yang berarti bahwa kehidupan Kenegaraan di atur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik di kenal juga dengan paham islami din wa dawlah, yang sumber positifnya adalah hukum Agama. Paham ini biasanya di gunakan atau di anut oleh kelompok islam syi'ah. Hanya saja nama dawlah di ganti dengan nama imamah. Paham ini Juga di anut oleh Negara kerajaan Saudi Arabia.

Dalam pergulatan islam dan dunia moderent, pola integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama dan Negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan di atur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma intedralistik identik dengan paham islam ad-din wa daulah (islam sebagai agama dan negar, yang hokum positifnya bersumber adalah hokum islam (syari'at-syari'at yang ada dalam islam).

  1. Paradigma Simbotik

Menurut konsep ini, hubungan Agama dan Negara di pahami saling membutuhkan dan bersifat timbale; balik. Agama membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangakan Agama. Begitu juga Negara, Negara memerlukan Agama karena agama membantu dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualisme warga negaranya.

Ibnu taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al-syiasah al-syari'iyyah: 162). Pendapat tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal dari adanya kontras social (social contract), tetapi bisa di warnai oleh hokum agama (syari'at). Dengan kata lain agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan Negara mesir dan Indonesia dapat di golongkan kepada kelompok paradigma ini.

  1. Paradigma Sekularistik

Paragidma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan Negara. Jadi keberadaannya harus di pisahkan karena mempunyai bidang masing-masing dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasarkan pemahaman ini, maka hukum positif tyang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama.

Ali abdul raziq menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah pun tidak di temukan keinginan nabi Muhammad untuk mendirikan Agama. Rasulullah hanya menyampaikan risalah kepada manusia dan mendakwakan ajaran agama kepada manusia.


BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Hubungan agama-negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Hubungan ini sangatlah eratnya, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.

Hubungan ini secara nyata akan dapat diwujudkan jika berdiri negara Khilafah Islamiyah, yang pendiriannya merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Tanpa Khilafah, agama dan negara akan terpisah dan terceraikan. Dalam keadaan demikian, menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh adalah utopia, ibarat mimpi di siang bolong.

Paham ini menggambarkan hubungan antara agama dengan negara sebagai dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Dalam paham terokrasi agama dan negara di gambarkan sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan bagaikan seperti CPU dengan Monitor, sehingga jikalau keduanya terpisahkan, maka tidak akan bisa di gunakan. Negara menyatu dengan agama karena pemerintahan menurut paham ini di jalankan berdasarkan firman-firman Tuhan yaitu dalam kitab-Nya hal ini berdasarkan dalam ajaran agama islam, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas kehendak Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik dalam paham terokrasi ini diyakini sebagai pembuktian langsung dari firman Tuhan. Jadi urusan kenegaraan atau politik dalam paham teokrasi juga di yakini sebagai menifastasi firman Tuhan.

  1. Saran

Berdasarkan hal tersebut diatas penulis menyarankan agar para pemikir-pemikir Islam agar lebih bersatu dan lebih memikirkan keadaan ummat yang semakin jauh dari keimanaan. Hal ini lebih penting dari pada kita harus berlomba saling menguatkan untuk kepentingan suatu kelompok. Karena kita adalah agama yang satu dan jangan biarkan kaum yang selalu ingin perpecahan antara kita terus tertawa dengan penuh kepuasan.

DARTAR PUSTAKA

  • Abu al-'Ala al-Mawdudi, Islamic Law and Conctitution, (Lahore:1967),
  • James P Piscatory, Islam in a World of Nation-States, (New York: Cambridge University Press, 1986)
  • James P Piscatory (Peny), Islam in the Political Process, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983)
  • Marzuki Wahid, Narasi Ketatanegaraan al-Mawardi-Ibn al-Farra:Bacaan Seorang Rakyat atas Dua Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, (Cirebon:Jilli, 1996).
  • Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990).
  • Mohammed 'Abed al-Jabiri, Wijhah an-Nadzr Nahto I'adah Bina al-Qadhayah al-Fikr al-Mu'ashir, (Beirut: Al-Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1992
  • Prof.Dr. Nourrouzzaman shiddiqi, M.A. Jeram-Jeram Peradaban Muslim,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
  • Dr. Mustafa As-Siba'I. Peradaban Islam Dulu, Kini, Dan Esok.(Jakarta: Gema Insani Press, 1992),
  • Dr. H. Abduddin Nata, MA. Metodologi Studi Islam, .(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
  • Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummt Islam, (Bandung: Mizan, 1997),



Artikel Terkait



0 komentar:

geo fles