BAB I PENDAHULUAN Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Tujuan pluralisme sejalan dengan kehidupan damai dalam perbedaan walaupun berbeda pandangan dan keyakinan. Islam sebagai agama damai tentu mendukung tujuan damai dari plurarisme. Terdapai nilai rujukan dalam Al Qur'an maupun pendiri agama Islam (Muhammad saw) bagaimana kita berkeyakinan terhadap agama sendiri dan bagaimana kita bersikap dalam hidup bermasyarakat dengan berbagai penganut agama lain. Dalam hal ini Islam mendukung sepenuhnya tujuan damai dari pluralisme, bukan sebaliknya menentang tujuan kehidupan yang damai dalam perbedaan. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah. BAB II PLURALISME ATAU PARALELISME Pluralisme agama dan kehidupan bermasyarakat dengan agama lain dalam Islam.Tidak semua konsep atau istilah ada dalam Islam, tapi Islam menyediakan rujukan yang lengkap untuk tatanan nilai sosial. Perbedaan pendapat terhadap suatu konsep terutama terkait dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari ditengahi dengan menyaring implikasi terhadap nilai-nilai atau etika dalam masyarakat. Dalam memahami suatu ayat, para ulama' telah menganjurkan agar menggunakan riwayat turunnya ayat, yang disebut dengan asbab nuzul. Adapun asbab nuzulnya sayat ini adalah; Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan guru-gurunya dari golongan Nasrani dan Yahudi. Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, "Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka." Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan." Ibnu Katsir menyatakan, "Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, "Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi."[Ali Imron:85]. Ibnu 'Abbas menyatakan, "Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan, agama, kepercayaan, dll, ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari'atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan." "Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali Imron:19). Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari. Selain itu aspek penting fahaman ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn 'Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn 'Arabi tentang Pluralisme Agama). Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysics of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai din kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai Din, Kajian terhadap Pemikiran Prof. Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Di situ argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas. BAB III PENUTUP Dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia, alih-alih terpinggirkan, agama malah semakin menguat peranannya. Tidak (atau belum) ada tanda-tanda agama mengalami arus surut. Sebaliknya, secara hiperbolis, mungkin juga sinikal, dapat dikatakan bahwa agama sedang memainkan peranan besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menyikapi fenomena ini, soal yang patut diajukan adalah adakah agama-agama yang memainkan peranan itu bisa duduk bersama dan berdialog.mengingat berbagai konflik dan kasus-kasus kekerasan yang bernuansa agama. Adakah agama-agama bisa meretas pluralisme yang secara optimistis diharapkan menjadi alas bagi terciptanya kerukunan bangsa yang plural ini. semua orang Indonesia adalah orang beragama. Kalau dalam agama-agama yang dianut terdapat nilai-nilai pluralistik maka seorang beragama di Indonesia haruslah seorang pluralis. Kalau di antara orang beragama terjalin kerukunan, hormat-menghormati dan kerja sama, dapat diharapkan bahwa sikap yang sama akan menular ke bidang-bidang yang lain semacam politik, sosial, budaya. DAFTAR PUSTAKA Al Qurtuby, Sumanto., Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005). Arif, Syamsyuddin., Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008) Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) Aslan, Adnan., Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Seyyed Hossein Nasr dan John Hick, (terj) Munir, ( Bandung: Alifya, 2004) Baso, Ahmad dalam Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Bandung: Kerjasama Fatayat NU dan The Ford Foundation, 2005)
"Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi." (Ali Imron:85).
Pesantren Kesayangan ku
IQRO
Latar Belakang
Tujuan
Pengertian Pluralisme
Pluralisme Dan Ilmu Sosial
Pluralisme Dan Agama
Kesimpulan
Saran
Diposting oleh film japung net di 16.00 Label: Kumpulan Makalah
0 komentar:
Posting Komentar