Pesantren Kesayangan ku

Pesantren Kesayangan ku
PONDOK PESANTREN BAITUL MAGHFIROH

IQRO

Psikologi Klinis Menangani Depresi Para ABG


Berbagai Persoalan Remaja

Orang bilang, masa remaja itu masa yang paling indah. Pernyataan ini bisa benar bisa juga tidak tergantung dari kaca mata yang melihat dan mengalaminya. Namun ada beberapa persoalan yang biasanya dialami ABG, alias Anak Baru Gede, sebagai implikasi dari pertumbuhannya. Persoalan ini bisa dibilang unavoidable problem namun belum tentu tidak bisa di selesaikan. Persoalan yang unavoidable dan unresolved itu lah yang membuat remaja bisa tenggelam dalam depresi. Mari kita simak, apa saja persoalan yang dihadapi remaja.

Panggilan menemukan jati diri

Remaja adalah masa transisi perkembangan fisik dan mental yang terjadi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Kalau kembali lagi ke teorinya Erik Erikson, masalah yang paling dekat dengan para remaja adalah search for identity (dorongan untuk unjuk diri, pencarian identitas) dan role confusion (menghadapi kebingungan peran). Remaja di sini, menurut Erikson, adalah anak yang sudah mulai masuk umur 12 sampai 18 tahun (Human Development, James W. Wander Zender, 1989).


Satu sisi, mereka punya dorongan untuk menunjukkan siapa dirinya, tetapi di sisi lain, mereka belum memiliki kemampuan untuk membuktikan siapa dirinya. Mereka ingin dipandang, tetapi orangtua belum memiliki alasan untuk memandangnya. Mereka ingin dibebaskan, tetapi orangtua masih meragukan konsistensinya. Inilah yang kerap memicu bentrokan dalam keluarga. Bentrokan ini yang memicu stress yang dialami remaja. Jikalau persoalan ini berlarut-larut dan tidak ada jalan keluar yang tepat, tidak tertutup kemungkinan remaja itu bisa mengalami depresi.

Urusan cinta

Masalah lainnya adalah urusan cinta (puberty). Mau kita menyebutnya cinta monyet atau cinta apa, mereka berhadapan dengan persoalan ini. Apesnya, tidak semua remaja dibekali persiapan menghadapinya. Banyak kaum ibu yang dibikin pusing tujuh keliling karena memikirkan anaknya yang jatuh cinta, sms tengah malam, mbolos sekolah, atau membengkakkan tagihan telepon rumah. Lebih-lebih jika si anak jatuh cintanya pada teman yang menurut orang tua "kurang pas" bibit-bebet-bobot nya. Akan lebih ruwet lagi jika mereka sudah menjalin hubungan yang sangat jauh dari perkiraan kita. Ruwetnya urusan cinta juga termasuk sumber masalah.


Secara Psikologi, munculnya semarak bercinta pada remaja itu bisa ganda. Ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif misalnya: mereka bisa merasakan sensasinya cinta, cinta menyemangati pertumbuhannya, memunculkan kemerdekaan dalam hidupnya, menghadirkan dukungan, dorongan, dan perlakuan yang menyenangkan, dan yang lebih penting lagi, cinta membuat mereka merasa menjadi orang penting dan spesial. Sedangkan yang negatif antara lain: cinta memunculkan cemburu, dendam, posesivitas, dorongan ingin mengendalikan kebebasan pasangan, depresi, dan mengundang potensi bunuh diri karena ketakutan atau kekhawatiran akan kehilangan orang tersayang (Psychology & Life: Philip G. Zimbardo, 1979)

Tuntutan prestasi

Hal lain yang juga ikut menjadi sumber masalah remaja adalah standar prestasi yang terlalu tinggi dan terlalu mengancam dirinya, entah itu yang ditetapkan orangtua, lembaga atau lingkungan. Sekedar untuk masukan, kata para aktivitas anak, sekarang ini banyak remaja dari keluarga ekonomi menengah-bawah yang cepat stress atau depresi karena terlalu sering disuguhi tayangan yang menunjukkan kemewahan materi. Secara mindset, jika tanpa bimbingan, mereka mudah berpikir kalau tidak kaya dan tidak mewah, hidup ini tidak ada harganya. Low self esteem adalah persoalan yang gampang memicu stress.


"Lho, apa tidak boleh kita memberikan standar prestasi yang tinggi pada anak? Bukankah itu malah bagus?" Kalau melihat di prakteknya, ini bisa sangat bagus dan bisa berpotensi untuk kurang bagus (minimalnya untuk periode tertentu). Bagus dan kurang bagusnya seringkali bukan tergantung pada tingginya standar prestasi, melainkan tergantung model pola asuh yang kita terapkan.


Jika standar yang tinggi itu kita maksudkan untuk menyemangati tekad dan visinya dalam berprestasi, kita sesuaikan dengan kelebihan, perkembangan, dan keadaan (anak dan orangtua), plus kita sediakan ruang untuk melatih kemandirian, tanggung jawab, dan kebebasannya, ini sangat bagus. Bukti-buktinya mudah kita temukan di lapangan. Menurut teori parenting-nya, ini biasa disebut dengan istilah otoritatif. Orangtua punya posisi kuat untuk menegaskan arahan, namun tetap memberikan ruang kreativitas untuk si anak agar meng-eksplorasi potensinya. Istilah jawa-nya, orangtua memegang kakinya dan membebaskan kepalanya.


Yang sering menimbulkan stress, atau bahkan depresi, adalah ketika standar prestasi yang tinggi itu dipatok dari atas demi tuntutan persaingan orang dewasa. Ini mungkin mirip seperti seorang pandai besi yang memukul dan membakar besi untuk dibentuk sesuai seleranya. Lebih-lebih jika si anak merasa perlu untuk memberontak atau menolak karena tidak sesuai dengan kemampuannya atau seleranya. Jika ini masih ditambah dengan respon orangtua yang negatif, misalnya ngomel, mengancam, atau memboikot uang saku, bukan tidak mungkin anak terkena depresi. Menurut teori parenting-nya, pola asuh ini biasa disebut otoritarian.


Depresi & Percobaan Bunuh Diri

Di masyarakat kita, jangan kan bunuh diri, percobaan bunuh diri saja sudah termasuk kejadian luar biasa (extraordinary cases). Lebih-lebih jika itu remaja yang melakukannya. Ini mungkin agak beda dengan di Jepang, seperti yang dijadikan landasan temuan Durkheim tentang bunuh diri (Suicide, 1897). Di Jepang, ada fenomena bunuh diri yang disebut altruistic suicide atau praktek bunuh diri yang terjadi karena adanya ikatan dan tuntutan masyarakat sekitar (tradisi).


Meski termasuk kejadian luar biasa atau eksepsional, tetapi sebagai wawasan tidak ada salahnya juga kalau kita mulai menyadari bahwa hubungan antara remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri adalah sesuatu yang memiliki penjelasan cukup rasional. Ini tidak hanya terjadi di negara luar sana. Di kita pun begitu. Kesalahan orang dewasa, kata Kak Seto dan kawan-kawan, adalah meremehkan atau tidak menyadarinya.


Bentuk sikap meremehkan itu misalnya kita berpikir bahwa remaja itu tidak mungkin terkena stress apalagi depresi. "Apa sih yang dipikirin mereka? Makan tinggal makan, uang tinggal minta, cinta belum saatnya, mau apa-apa tinggal bilang ke orangtua?" Dengan bersikap seperti itu, maka sangat mudah kita membiarkan mereka menyusuri jalan gelap sendirian. Atau bahkan malah menekan mereka sehingga terjadi akumulasi depresi.


Berbagai surat kabar atau televisi sudah sering menayangkan praktek dan percobaan bunuh-diri yang dilakukan remaja. Terkadang sebabnya sepele menurut kita. Mungkin, karena sudah mengakumulasi, akhirnya hal-hal yang sepele itu menjadi besar yang tidak disadari akibatnya. Di Jawa Timur misalnya ada remaja yang bunuh diri karena diputus pacar. Di Jawa tengah seorang remaja melakukan percobaan bunuh diri karena menghabiskan uang SPP. Di Bali, seorang remaja mau gantung diri karena nilai UN-nya jeblok dan takut dimarahi orangtua. Motif merek ada yang karena sudah buntu dan ada yang karena mencari perhatian.

Sejumlah faktor yang mendorong bunuh diri pada remaja*

(1) Depresi berskala tinggi

(2) Penyalahgunaan narkoba

(3) Kehampaan dukungan orangtua

(4) Konflik hubungan

(5) Penyakit kejiwaan

(6) Gagal di sekolah

(7) Kehilangan orang tercinta dalam hidupnya

(8) Pengangguran (tidak sekolah, tidak kerja, tidak punya aktivitas apa-apa)

(9) Perfeksionis yang tidak rasional

*) Dari berbagai sumber

Dari observasi para ahli di lapangan, dan ini sudah sering ditayangkan di media, jarak antara mereka ingin melakukan percobaan dan takut melakukan percobaan, itu katanya sangat tipis dan biasanya hanya beberapa menit. Kenapa jarak menjadi tipis dan sebentar? Salah satu alasannya adalah karena depresi dan belum tahu bagaimana mengatasi depresi secara positif ditambah lagi dengan lingkungan yang kurang mendukung.


Dengan kata lain, kalau kita menyadari bahwa hubungan antara remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri itu adalah sesuatu yang sangat mungkin relevan, maka kesadaran ini sangat berpotensi mendorong kita untuk lebih peduli, lebih hati-hati, dan lebih dekat. Ini akan beda dengan ketika kita terus berusaha menafikan atau me-masabodoh-kan. Biasanya, kalau kita sudah menganggap tidak ada sesuatu yang ada, antisipasi kita sulit untuk muncul.


Darimana Mulai Membantu Mereka?

Tentu, normalnya, tidak ada orangtua yang rela melihat anak remajanya terkena depresi. Stres pun kalau bisa jangan. Lebih-lebih sampai melakukan percobaan bunuh-diri. Membayangkannya saja sudah ngeri. Pertanyaan yang butuh jawaban adalah, apa saja yang bisa dilakukan orangtua agar si anak terhindar dari stress berat (depresi) atau bagaimana mengembangkan kemampuan anak dalam menghadapi kejutan buruk (sumber depresi) yang notebene itu adalah pengalaman baru bagi mereka?


Kalau melihat akar depresi, entah itu untuk remaja atau orangtua, depresi itu berakar dari ketidaksiapan dalam menghadapi kenyataan. Bedanya, orangtua sudah memiliki referensi banyak dalam menghadapinya, sementara remaja referensinya sedikit. Jika ini ditambah dengan sikap tidak peduli dari orangtua, sempurnalah kebingungannya. Beberapa tanda depresi yang bisa kita kenali pada kehidupan anak remaja antara lain:

  • Ada perubahan yang sangat mencolok pada pola makan (malas makan atau ingin makan terus) dan pola tidur
  • Mengalami perubahan mood secara dramatis, cepat marah, cepat tersinggung, cepat menyendiri atau terlalu reaktif
  • Terlibat dalam penyalahgunaan narkoba
  • Mengalami penurunan prestasi di sekolah
  • Kurang bergairah untuk menciptakan masa depan yang cemerlang
  • Menarik diri dari keluarga atau orang-orang yang dianggap mau mengontrolnya
  • Menunjukkan aura keputusasaan, ketidakbahagiaan, atau rasa bersalah (takut)

Sikap peduli seperti apa yang dapat membantu mereka? Sebagai penegasan terhadap apa yang sudah kita ketahui, kita bisa melakukan langkah-langkah di bawah ini:

  • Berbicaralah empat mata dan nyatakan perhatian dan kepedulian

Remaja biasanya malas kalau mendengar nasehat apalagi yang itu-itu melulu, namun jauh di lubuk hati mereka tetap membutuhkan perhatian dan kepedulian orang tua. Hanya saja, ukuran dan jenis perhatian dan sikap dalam menyatakan perhatian itu mungkin sudah mesti berbeda dari yang kita berikan ketika mereka masih anak-anak. Salah-salah, maksud baik kita malah di tolak hanya karena cara kita mengekspresikan kasih sayang, tidak pas dengan mereka. Ini bisa berbuntut panjang kalau orang tua salah menilai respon mereka sebagai wujud tidak sayang lagi pada orang tua. Tidak ada salahnya mencoba berbagai cara, sampai ketemu yang pas untuk kedua belah pihak.

  • Jelaskan bahwa Anda mengamati tanda-tanda tertentu dan ingin mendengar penjelasannya

Menghadapi remaja, susah-susah gampang, perlu waktu dan kesabaran, tapi juga perlu logika rasional supaya orang tua tidak terbawa emosi atau salah menangkap arti. Kalau menghadapi remaja yang sedang sedih dan berubah menjadi pemurung, pendiam dan suka menarik diri, maka sikap dominan dan otoriter, memaksa mereka untuk berterus terang malah memperburuk hubungan. Sebaliknya, sikap terbuka membuat remaja melihat bahwa orang tua juga manusia. Kalau Anda cukup mau berbesar hati, Anda bisa menceritakan pengalaman buruk Anda di masa lalu, dan bagaimana rasanya waktu itu. Anda bisa cerita tanpa tendensi mempersuasi anak untuk mau cerita, atau mau "adu susah" dengan kesusahan anak. Yang Anda sampaikan intinya satu, yakni bahwa Anda mengerti bagaimana rasanya terpukul terbiru-biru, kecewa, sakit hati, shock, dsb karena Anda sudah pernah ada di sana ("it's good to have someone during this terrible time")

  • Posisikan diri Anda untuk lebih mendengarkan

Oleh karenanya, menjadi teman dan penguat akan jauh lebih diperlukan dari pada sekedar nasehat apalagi menjadi hakim. Kehadiran Anda dengan sikap memahami, tanpa banyak berkata-kata pun, bagi mereka sesuatu yang menenangkan.

  • Ajukan pertanyaan yang mendorong mereka untuk bercerita (eksploratif)

Namun kita sendiri juga harus siap mental dan emosional untuk menghadapi cerita anak. Mungkin anak merasa takut bercerita dan cemas jangan-jangan dia akan kena marah. Kalau Anda bisa menguasai diri dan bersikap rasional, Anda bisa melihat masalah yang dia ceritakan dengan obyektif dan kepala dingin. Anda bisa memisahkan antara perasaan Anda dengan solusi yang harus di ambil. Hargai keterbukaan dan kejujuran anak, karena bagi mereka yang mengalami depresi, bercerita dan berekspresi adalah hal yang sangat sulit.

  • Pancinglah bagaimana solusi yang ia pikirkan dan bantulah mereka dengan sejumlah alternatif / solusi

Dengan memancing pola pikir anak untuk mencari solusi yang rasional, kita membimbing pola pikir anak keluar dari situasi "tidak ada jalan keluar" yang selama itu ada di dalam pikirannya. Jika anak ragu untuk mengambil keputusan, berikan pandangan mengenai plus minus tiap alternative yang ada, namun berikan keyakinan bahwa orang tua akan membantu mereka menghadapi apapun yang terjadi.

  • Pikirkan langkah untuk mendapatkan bantuan profesional jika dibutuhkan

Hal-hal di atas bisa dilakukan selama stress dan depresi yang dialami belum dalam taraf berat, dimana anak masih bisa berkomunikasi dan mengekspresikan perasaannya. Namun, ada pula yang mengalami depresi berat hingga membutuhkan penanganan professional, seperti konselor atau psikolog yang bisa membantunya mengatasi depresinya setahap demi setahap sambil meluruskan kembali pola pikir yang keliru serta mengembalikan tujuan dan semangat hidupnya.

  • Menghargai anak dan mempelajari kontribusi diri dalam masalah yang terjadi

Berpikirlah bahwa mereka itu adalah amanat (barang berharga yang dititipkan Tuhan) kepada kita, bukan berpikir sebagai pemilik sehingga memudahkan kita menjadi otoriter atau menekan dari atas. Ada kalanya, masalah yang membuat mereka depresi itu lah yang bisa membebaskan mereka dari belenggu pola pikir yang keliru. Ini semua kembali dari bagaimana orang tua menilai masalah yang dihadapi oleh anak. Jika kita merasa paling benar, maka most likely kita akan menilai masalah yang dihadapi anak kita 100% akibat kesalahan anak. Namun, jika kita berpikir hati-hati, bisa jadi kita sendiri kaget karena menyadari kontribusi kita terhadap masalah ini. Sehingga kita tidak bisa menyalahkan anak begitu saja, tapi mari sama-sama koreksi diri agar semua pihak bisa menemukan jalan yang lebih benar untuk mencapai tujuan hidup.

Sedangkan untuk memperkuat kemampuan mereka dalam menghadapi realitas, langkah yang bisa kita lakukan antara lain:

  • Libatkan mereka dalam tanggungjawab atau peranan tertentu yang membuat mereka merasa berharga dan dihargai orangtua. Mulailah melibatkan mereka ke dalam beberapa keputusan keluarga
  • Berilah kesempatan untuk belajar dari pengalaman hidupnya, namun tetap terkontrol dan proporsional: tidak terlalu dilepas dan juga tidak terlalu didikte
  • Terus tanamkan nilai dengan cara yang kreatif. Bisa nilai agama atau kearifan lain. Namun cara paling efektif untuk menanamkan nilai, justru dari memberi contoh kongkrit melalui kehidupan yang kita jalankan sehari-hari. Bagaimana cara kita menghadapi masalah dan apa makna masalah buat kita, apa makna kegagalan dan bagaimana menyikapinya, itu semua akan jadi ajaran nilai kalau anak melihat langsung dari orang tuanya. Nilai yang kita tanamkan itu sama seperti benih yang kita sebar. Suatu saat, pasti akan tumbuh. Bedanya, ada yang cepat dan ada yang lambat. Jangan sampai kita cepat give up dalam menanamkan nilai karena merasa tidak didengar atau sering ditolak
  • Tantanglah dengan berbagai rangsangan positif untuk memperbaiki logika, kreativitas dan kepercayaan-dirinya. Misalnya memberi bahan bacaan, mendiskusikan isu, mengembangkan bakat, dan lain-lain. Bahkan, dengan cara melibatkan mereka dalam keputusan keluarga, hal itu juga membantu logika dan kreativitas mereka.
  • Jangan lupa menempuh cara-cara yang non-empiris, misalnya mendoakan mereka, menjauhkan mereka dari dana yang tidak halal, memperbanyak sedekah (menolong orang lain) atau menjalin silaturahmi dengan keluarga.

Artikel Terkait



0 komentar:

geo fles