Ada yang mengatakan bahwa kebutuhan adalah sumber penemuan (discovery) yang oleh sebagian teori kreativitas dikatakan bahwa dengan memiliki kebutuhan akan membuat kita selalu terdorong untuk mencari jalan keluar. Oleh Trevor Bentley dalam Sharpen your team’s creativity (1997) pernah ditulis bahwa langkah yang bisa ditempuh agar kita bisa menjalani hidup secara kreatif adalah mendata sejelas mungkin apa saja yang kita butuhkan. Namun perlu diingat, kebutuhan, dapat berperan seperti pisau bermata dua: bisa mendongkrak kemampuan kita, namun bisa juga membuat kemampuan itu mandek, tergantung bagaimana kita me-manage kebutuhan, bukan bagaimana kebutuhan itu me-manage kita.
Menapaki Tangga
Abraham Maslow mengemukakan cara bagaimana, menentukan dan mengatasi kebutuhan:
Pertama: memahami tingkatan kebutuhan
- Kebutuhan fisik dan psikologis atau kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan.
- Kebutuhan keselamatan dan keamanan (sefety needs)
- Kebutuhan keharmonisan / sosial (belongingness and love)
- Kebutuhan kehormatan (esteem, the feeling of being valued and respected)
- Kebutuhan akan aktualisasi diri
Kedua: Merumuskan ukuran vs kemampuan
- Punya persepsi yang sederhana tentang dunia (orang & keadaan),
- Menerima diri & orang lain, hubungan intrapersonal-interpersonal yang harmonis
- Tidak konformistis (ikutan-ikutan) tetapi memiliki nilai-nilai yang dianut
- Mementingkan keinginan ketimbang kekesalan (problem centered)
- Punya privasi tetapi tidak merasa kesepian
- Self-otonom, bisa memerintah dan melarang dirinya untuk berkembang
- Punya kapasitas menghargai kehidupan dan alam
- Berpengalaman ketuhanan/ spiritual, bukan hanya beragama
- Bisa menempatkan orang lain menurut tata krama kesopanan
- Punya hubungan personal yang unik - tak banyak teman tetapi berkualitas
- Punya karakter yang demokratis
- Bisa membedakan antara jalan dan tujuan (means & ends)
- Punya humor tinggi tetapi filosofis - bukan hiburan yang asal-asalan
- Punya gaya hidup Kreatif
- Mengakui budaya tetapi tidak keracunan budaya (warisan / tradisi)
Masalah yang berpotensi membuat kita mendiami kebutuhan itu bisa disebabkan karena beberapa hal, sedikitnya antara lain:
- Kita tidak memiliki tangga sendiri yang spesifik seperti yang disarankan para ahli agar kita merumuskan tujuan hidup menurut kebutuhan dan kapasitas kita. Kalau tangganya tidak spesifik, bukan tidak mungkin pembawaan-naluriyah-manusiawi yang anti-kepuasan ini akan membawa kita larut untuk mendiami kebutuhan berbau fisik. Mengapa? Karena kebutuhan inilah yang paling keras suaranya dan anti kata nanti.
- Kita tidak memilih strategi untuk menapaki tetapi memilih mendiami alias memposisikan diri secara mental sebagai akibat dari kebutuhan. Kita baru akan melangkah menaiki tangga kedua atau kelima setelah kita menerima kemujuran dari nasib yang akan membuat kita sudah tidak memikirkan lagi anak tangga yang lain.
Kalau kita rujukkan pada praktek hidup harian, kebutuhan akan pangan (perut), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal) atau tangga pertama memang syarat mutlak untuk menaiki tangga yang lain tetapi bukan jaminan karena ukurannya jelas berbeda untuk orang yang berbeda. Pendek kata, semua orang berprestasi (aktualisasi diri) memang sudah kenyang perutnya tetapi tidak semua orang yang kenyang perutnya bisa berprestasi. Contoh dalam sejarah pernah dibuktikan oleh Edison kecil. Mungkin untuk menambah uang saku yang masih kurang, Edison pernah bekerja sebagai penjual asongan di kereta tetapi yang berbeda adalah, Edison memiliki tangga yang ingin dinaikinya. Meskipun berjualan, dia tetap melakukan eksperimentasi kimia dan karena tumpah, konon pernah membuat kondektur marah sehingga menempleng telinganya sampai rusak. Selain Edison kita pasti bisa memastikan sudah tak terhitung jumlah anak manusia yang demikian.
Proses Belajar
Bagaimana menapaki kebutuhan atau jurus apa saja yang masih mungkin kita lakukan agar kita tidak mendiami kebutuhan secara statis? Sekedar ingin berbagi pengalaman dan hasil pengamatan dari praktek hidup sehari-hari, jurus itu bisa kita pilih dari sekian cara, antara lain:
Setiap hari kita melakukan sekian ragam aktivitas dan salah satu jurus yang bisa kita gunakan agar aktivitas itu bisa membuat kita menapaki kebutuhan adalah mendifinisikan sasaran (target, atau tujuan). Jurus ini bisa dilakukan dengan gerakan:
- Menentukan aktivitas apa saja yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan faktual, pasti, dan sudah terukur secara harian, mingguan atau bulanan (sasaran)
- Menentukan aktivitas apa saja yang bisa digunakan untuk meraih keinginan jangka panjang yang belum / baru terwujud sebagiannya hari ini. Kalau kita tidak bisa menciptakan solusi seluruhnya maka yang wajib kita ambil sebagiannya atau minimalnya tidak menambah masalah dengan cara membiarkan keinginan
- Menentukan aktivitas apa saja yang bisa digunakan untuk menyelesaikan tantangan, problem atau berbagai bentuk penyimpangan yang muncul setiap hari.
Dengan membagi sasaran sedemikian rupa, kita akan memiliki kemungkinan untuk mendinamiskan langkah setiap hari. Kita tidak hanya terpaku pada kebutuhan, tidak juga terpaku pada penyeselesain masalah atau tidak terpaku pada mencari-cari jalan mewujudkan keinginan sementara kebutuhan dan kelancaran kita terancam. Cara lain bisa kita pilih dari apa yang diajarkan St Francis: "Mulailah dengan menyelesaikan pekerjaan yang anda butuhkan lalu yang anda inginkan dan barulah yang anda cita-citakan".
Ibarat orang mengendarai mobil, wajarlah bahkan memang sudah seharusnya kalau kita harus terkadang pelan, ngebut, lurus, belok, mundur, atau terkadang zig-zag karena memang ada kebutuhan untuk itu. Tetapi yang membedakan apakah itu keputusan dinamis atau statis adalah apakah kita mundur untuk maju atau mundur untuk mundur; pelan supaya selamat atau pelan karena malas; lurus karena benar atau lurus karena kebenaran sendiri; belok-belok supaya fleksibel atau belak-belok karena tak punya pendirian.
0 komentar:
Posting Komentar