Adakah di antara Anda yang pernah tinggal bersama-sama dengan anggota keluarga atau famili dekat yang mengalami problem kejiwaan ? jika saya tanyakan bagaimana rasanya, saya yakin pertanyaan ini mengundang reaksi emosi yang spektrumnya mulai dari sedih sampai pasrah yang ignorant, alias berusaha tidak ambil pusing. Problem kejiwaan memang merupakan persoalan bukan hanya bagi penderitanya, tapi sekaligus orang-orang di sekelilingnya, dan yang hidup bersamanya. Tulisan ini bukan maksud ingin memojokkan orang-orang yang mengalami problem kejiwaan yang bisa saja saya sendiri atau bahkan Anda sendiri pernah mengalaminya. Pengalaman berada di dasar samudera (kalau bisa saya lukiskan demikian) bisa di jabarkan ketika kita sudah keluar dari situ dan setelah muncul kembali kita baru melihat bagaimana kondisi orang-orang terdekat kita selama kita berada di dasar samudera. Pengalaman ini lah yang ingin di sampaikan pula pada pembaca yang mungkin belum pernah berada di kedua tempat itu. Kesepian di tengah keramaian Problem kejiwaan bisa kita artikan sebagai masalah yang mengganggu jiwa hingga pada titik ambang batas kemampuan individu itu untuk mengelolanya. Pada titik itu ia merasa berhadapan dengan jalan buntu sementara akal sehat dan logikanya tidak mampu menghadirkan solusi yang possible untuk mengatasi masalahnya. Dalam keadaan seperti ini, individu cenderung menarik diri dari lingkungan karena ia merasa asing dan aneh, entah ia merasa dirinya aneh, atau dia menilai orang-orang bersikap aneh padanya. Tindakan ini sebenarnya memperparah keadaan, karena ia bisa bermain-main dan memutar pikiran negatif tanpa batas. Padahal dalam kondisi lemahnya self control, kans untuk menghentikan pikiran negatif atau menghadirkan tindakan yang proaktif, kemungkinannya jadi tipis. Tanpa koneksi dengan lingkungan, maka segala sesuatu yang 'bias' alias menyimpang dari kaidah kenyataan / fakta, tidak terkoreksi. Oleh karenanya tidak heran jika individu makin menarik diri dari lingkungan karena makin sulit percaya pada orang lain dan menemukan orang lain yang mempercayainya. Sesungguhnya keadaan ini membuat individu yang mengalami problem kejiwaan, makin tertekan dan terperangkap dalam kebuntuan dan dirinya pun sering tersesat dalam bilik pikiran. Frustrasi dan putus asa kerap menerjang pikiran dan perasaan mereka, sementara mereka merasa tidak berdaya. Saat inilah, individu mulai merasa mendengar ada suara-suara yang menyuruh mereka melakukan ini dan itu, atau suara-suara yang mengatakan hal-hal buruk mengenai pribadi mereka, dsb. Dalam psikologi klinis, pola ini di kenal dengan istilah delusi. Ada pula yang seperti melihat sebuah image yang tampak begitu nyata di mata mereka namun tidak nyata di mata orang lain. Kondisi ini dinamakan halusinasi. Tidak banyak orang tahu apa yang dirasakan oleh para penderita problem kejiwaan ini, karena dari luar sikap mereka sering menjengkelkan dan memancing kemarahan, tidak rasional dan 'aneh'. Padahal, orang-orang yang mengalami problem kejiwaan sering dilanda ketakutan kehilangan rasionalitas, ('takut jadi gila'). Individu ini pun sering malu dan marah pada diri sendiri karena merasa tidak berguna. Dibalik sikapnya yang menjengkelkan, pribadi ini menyimpan semburat kesedihan saat ia menyakiti orang yang mengasihinya dan sangat ia kasihi. Sayangnya emosi-emosi tersimpan dalam bilik emosi yang sulit di eksplorasi. Jarak emosi dan persepsi akhirnya membuat koneksi relasi tidak terjadi. Nothing happen. Sayangnya, seringkali moment ini tidak diketahui dan tidak di tindaklanjuti padahal inilah masa kritis di mana individu yang mengalami problem kejiwaan tiba di persimpangan jalan yang cukup menentukan, antara makin masuk ke dunianya, atau membuka diri terhadap rasionalitas. Pada saat ini lah penderita terkadang merasakan kesunyian dan kesepian yang sangat, sementara di dalam keputusasaan dan ketidakberdayaan yang ia rasakan, ia tidak melihat ada jalan keluar lain yang possible. Ini lah salah satu kondisi yang melandasi tindakan bunuh diri. Emotional Exhaustion Pola perilaku individu yang mengalami problem kejiwaan sering dianggap sumber masalah atau setidaknya potensi masalah bagi orang-orang di sekelilingnya. Sikap, tindakan atau pun pikiran mereka dinilai tidak rasional, tidak biasa, atau kekanak-kanakan. Belum lagi jika individu yang sedang mengalami masalah kejiwaan mengabaikan apa yang dianggap penting oleh orang-orang di sekelilingnya. Misalnya, lupa menutup pintu depan, lupa mematikan lampu, mematikan kompor hingga memperlihatkan sikap negative yang terkadang memalukan, atau sulit di terima oleh orang tua, atau pasangan, atau anak-anak mereka. Berbagai kerepotan terkadang muncul dari sikap mereka, misalnya selalu mengunci pintu dan tidak boleh ada tamu, tidak mau ikut pergi ke acara keluarga, diam dalam pertemuan keluarga, atau emosi yang meledak-ledak atau membahas topik yang tidak biasa buat pendengarnya. Rasa enggan keluarga untuk melibatkan mereka sebenarnya bukan hanya karena alasan 'kenyamanan' tapi seringkali faktor keamanan. Sikap agresif atau pun pernyataan negative yang terlontar dari individu yang sedang mengalami masalah emosional atau problem kejiwaan tanpa sadar bisa membahayakan keselamatan mereka sendiri karena belum tentu lawan bicara mengenalnya dan mengerti keadaannya. Tidak jarang anggota keluarga merasa tegang ketika bepergian bersamanya, karena takut jika sikap dan kata-katanya memancing keributan dengan orang lain. Lemahnya self control dan rendahnya kemampuan mengelola frustrasi membuat individu berproblem ini jadi super sensitive terhadap banyak hal yang terjadi di luar keinginan mereka. Mereka jadi mudah marah, kesal, sedih, dsb – dan faktanya, situasi ini sangat menguras emosi dan energy orang-orang di sekeliling mereka, yang berusaha untuk memahami dan memaklumi atau mentoleransi sikap mereka. Kelelahan fisik dan emosi sering melanda anggota keluarga, bisa menyebabkan problem kesehatan karena menurunnya daya tahan tubuh, problem interpersonal karena berkurangnya stress tolerance, berkurangnya prestasi kerja karena menurunnya konsentrasi dan persistensi, sampai problem dengan diri sendiri karena makin banyak hal dalam hidup yang tidak berjalan dengan lancar atau seperti yang di harapkan; banyak keinginan dan kebutuhan tidak tercapai atau harus ditunda karena situasi tidak memungkinkan; sementara mereka merasa bersalah kalau berusaha “bergembira” atau bersantai atau sedikit having fun time sekedar menghibur diri. Ketika pihak keluarga merasa sudah mengupayakan berbagai cara untuk 'menyembuhkan' dan mengembalikan keadaan seperti sedia kala, tapi hasilnya tampak sia-sia. Dalam situasi seperti ini lebih mudah merasa pesimis dari pada optimis, lebih mudah menyerah atas nama pasrah ketimbang melanjutkan perjuangan. Kenapa saya katakan ini sebuah perjuangan ? Dysfungsi dalam keluarga Sebuah keluarga merupakan sebuah unit system yang dinamis dan interaktif, dimana tiap anggota pasti punya kontribusi signifikan dalam membentuk 'budaya', nilai dan norma, tradisi hingga model interaksi. Kita sering mendengar atau bahkan mengalami sendiri kondisi atau pola-pola keluarga yang sudah turun temurun beberapa generasi. Kalau pola itu baik, akan menghasilkan output yang baik, entah itu karakter, kebiasaan, norma, nilai atau pun hasil karya. Tapi kalau polanya tidak sehat, menyimpang, atau too rigid, akan menghasilkan output yang tidak baik juga. Masalahnya, selama kita ada di dalam keluarga dan tidak pernah sekali-sekali 'keluar' dari dunia kecil / dunia keluarga, kita tidak melihat apa yang salah atau yang kurang adequate dari kebiasaan sehari-hari, paling-paling hanya terucap 'sudah dari dulu begitu' atau '...habis mau bagaimana lagi.....?'. Ketidakmampuan kita untuk melihat apa yang salah dalam keluarga kita, atau pola manakah yang sudah tidak bisa diterapkan karena mengalami perubahan konteks, membuat keluarga kita menjalani siklus kehidupan dan problem yang serupa dari generasi ke generasi. Karena, ketidakmampuan melihat problem dari paradigma yang berbeda menghasilkan nilai, persepsi, reaksi, tindakan, kebiasaan, dan solusi-solusi yang tidak jauh berbeda dari generasi sebelumnya yang sering dijadikan benchmark. Inilah yang menjadi problem turun temurun, bukan problem karena 'keturunan'. Tidak ada yang salah dengan menggunakan pola lama selama pola tersebut masih mensupport pertumbuhan di dalam setiap generasi / keluarga dan terbukti menghasilkan orang-orang yang berkarakter, integral, positif dan memberikan kontribusi nyata pada lingkungannya. Ketika salah seorang anggota keluarga yang sangat kita sayangi mengalami stress berat, depresi atau perlahan tapi pasti mengalami kemunduran fisik dan psikis, hingga tidak bisa beraktivitas seperti sedia kala, kejadian itu sudah pasti membawa pengaruh besar buat yang lain, meski ada yang pura-pura tidak merasa atau pura-pura tidak mau tahu. Kenapa saya katakan 'pura-pura' karena hati tidak pernah bisa menipu manusia, tapi manusia bisa menipu diri sendiri dan manusia lainnya. Atmosfer kesedihan, kemarahan, kepahitan, ketakutan, kecemasan, kelelahan, kegetiran, kebencian dan keputusasaan yang beredar secara intensif, mempengaruhi angggota keluarga yang lain. Setiap orang punya mekanisme yang berbeda dalam menangkap dan menyikapi tekanan emosi yang dirasakan baik dari dalam diri atau dari luar. Mekanisme yang di peroleh lewat proses belajar dari lingkungan ini membawa persoalan tersendiri ketika pilihan yang ada sangat terbatas dan bahkan tidak sehat seperti istilahnya orang jawa mendem jero, menyembunyikan perasaan, disimpan rapat-rapat supaya tidak kelihatan dari luar, ada pula yang jadi pasrah, seakan nasib sudah menggariskan demikian. Memang, jika kita tidak / belum pernah mengakses paradigma lain, melihat dari perspektif lain, situasi ini hanya akan dijadikan sebuah konfirmasi nasib 'benar kan dugaan saya...' atau 'ya memang keluarga kita nasibnya begini.....' Dengan perspektif seperti ini, pilihan sikap yang ada, adalah pasrah atau marah. Kepasrahan jadi masalah (yang pasif karena menyerah) karena melahirkan apatisme dan sikap fatalistic, memposisikan diri sebagai korban dari orang lain / keadaan. Kita menyalahkan si A atau B yang dianggap jadi biang keladi, atau kita salahkan orang tua / keluarga, atau kita salahkan anggota yang sedang berproblem itu, sementara diri kita tidak tahu harus berbuat apa. Kalau pun ada, tidak punya energy dan courage untuk mewujudkan perubahan. Sedangkan, reaksi marah bisa muncul kalau kita merasa hidup tidak memberi pilihan, dan kita adalah korban dari hidup. Sama saja, reaksinya akan menyalahkan orang lain yang dianggap jadi biang kerok kesulitan dan persoalan. Seandainya dinamika keluarga bisa di putar seperti film dimana kita bisa duduk bersama menyaksikan 'film keluarga', besar kemungkinannya kita akan memberikan reaksi yang berbeda. Kita bisa melihat kalau problem emosional atau problem kejiwaan yang dialami orang yang kita sayangi itu, bukan semata-mata disebabkan si A atau si B. Si A atau B hanya menjadi trigger – memicu runtuhnya ilusi yang selama ini tertata seperti realita. Kita menemukan seperti apa paradigma berpikir dan nilai yang membatasi perspektif anggotanya untuk menatap realita dan menjalaninya secara utuh. Dengan melihat kebenaran (the truth), kita urung menyalahkan orang tua, yang ternyata sama-sama terperangkap di perangkap yang sama. Pada akhirnya kita tidak perlu terjebak dalam urusan salah menyalahkan, melainkan menganalisa standing position kita dan melihat apa saja possibility bisa di lakukan untuk diri sendiri dan menolong anggota keluarga yang saat itu paling membutuhkan bantuan. Bantulah dirimu sendiri sebelum bisa membantu orang lain Ada satu prinsip yang tidak bisa di lupakan, yakni kalau kita mau membantu orang lain, kita sendiri harus siap. Prinsip ini jangan di artikan sebagai keegoisan, karena logikanya, ketika kita marah-marah, mudah sekali memancing reaksi negative orang lain; orang lain bisa ikut marah atau minimal merasa tidak nyaman. Ada kalanya kita merasa tertekan, entah karena beban tanggung jawab yang bertambah, atau karena mentally exhausted. Saat itu, kita mudah kehilangan kesabaran dan kendali emosi terhadap anggota keluarga yang berproblem atau pada anggota lain, dan akhirnya memperburuk keadaan. Meski situasi ini bisa 'dinetralkan' akan tetapi perasaan bersalah dan penyesalan tidak mudah 'dinormalkan' kembali, apalagi jika meninggalkan jejak berupa broken relationship. Oleh sebab itu, sejenak keluar dari 'orbit' amat penting untuk mendapatkan energy baru dan yang terutama memperoleh perspektif yang lebih jernih dalam melihat persoalan yang terjadi di dalam keluarga. Bekerja, berkarya Bekerja dan bertemu dengan orang-orang yang berbeda dunia, sebenarnya bermanfaat untuk recharging energy karena dengan bekerja, kita memutar energi untuk menghasilkan karya (produksi) yang at the end of the day, kita mendapat energi dari rasa puas dan syukur karena bisa memberikan makna pada hari itu. Sharing Berada di luar orbit keluarga, bertemu dengan orang-orang, bertukar pikiran dan berbagi pengalaman – perlu dan penting untuk melihat kehidupan dan persoalan dari perspektif yang berbeda. Oleh sebab itu, rugi jika kita menutup diri karena malu atau takut akan stigma sosial, dsb – karena kita menutup diri terhadap opportunity untuk mendapatkan sharing pengalaman dari orang-orang yang lebih dahulu menjalani hidup seperti kita dan berhasil mengatasinya. Problem kejiwaan bukanlah sebuah aib atau pun kesalahan yang memalukan, karena bisa dialami oleh siapa saja tidak pandang bulu, kaya miskin, tua muda, wanita atau pria. Mendengarkan sharing orang lain, seringkali memberikan kekuatan dan harapan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Apalagi, jika kita menemukan orang yang membuat kita 'malu hati' – karena ternyata masalah kita tidak sebanding dengan penderitaannya, and yet – orang itu masih mampu memberikan kontribusi yang besar buat keluarganya dan orang lain. Care for the soul Caring for our soul, bukanlah sebuah kesalahan apalagi dosa, sehingga kita tidak perlu merasa bersalah kecuali kita melakukannya dengan melalaikan tanggung jawab. Kita bisa ngobrol dengan Tuhan, di bemo, di becak, di tempat antrean ATM, di terminal, atau di dalam bis kota. Tuhan ada di mana-mana, sehingga di mana pun kita berada Dia pasti ada; penting untuk chatting denganNya. Atau kalau kita jalan ke tempat yang tenang, atau sekedar menikmati bulan, bintang, angin, hujan, atau pun hijaunya pepohonan serta mendengarkan kicau burung. Berjalan kaki di sore hari tanpa keharusan-keharusan, masak makanan yang kita suka, membaca buku di tempat favorit kita, menulis diary / journal di coffee shop, sekedar duduk di tepi pantai, pergi ke tempat yang kita sukai, atau mengunjungi teman lama, adalah cara-cara sederhana to care for our soul. Hal ini merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi jiwa tiap orang. Pengabaian terhadap kebutuhan jiwa, adalah awal dari problem kejiwaan itu sendiri. Sebab, jiwa kita membutuhkan energi-energi positif yang di peroleh melalui koneksi langsung dengan alam semesta dan Sang Penciptanya. Koneksi yang buruk mengakibatkan kekacauan dalam 'system navigasi' manusia, karena sebenarnya dalam jiwa kita lah letak petunjuk, instruksi dan SOP (Standard Operation and Procedure) 5W – Who, When, Why, What, Where. Ketika system navigasi terganggu, kita bingung membaca dan mengartikan tanda-tanda (jawaban dan arah) di sekeliling kita. Kita lebih percaya pada 'apa kata orang' dari pada 'kata hati'. Pasti masih banyak alternative lain yang bisa kita lakukan untuk recharge our soul dan strengthening our spirit. Ada kalanya kita perlu mengkritisi pikiran yang kerapkali menghakimi diri sendiri bahkan sebelum melakukan tindakan. Rasional atau tidaknya akan terjawab jika kita mau menelaah dan mencari sejauh mana implikasi dari tindakan kita terhadap orang lain. Ketika kita memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa, demi acungan jempol untuk nilai 'berbakti dan ikut prihatin', kita patut bertanya apakah sikap saya bermanfaat untuk keluarga, terutama yang sedang berproblem ataukah semata-mata demi melindungi citra saya ? Demikian pula sebaliknya, ketika kita memilih menjaga jarak dengan keluarga, apakah demi sebuah tujuan yang baik atau menghindari tanggung jawab ? Hanya kita masing-masing yang bisa menjawab saat nurani kita dihadapkan pada situasi di atas. Membangun Realita Bersama Keluarga Saat jiwa dan kehidupan batin kita sudah dikuatkan dan disegarkan, kita akan lebih tenang dalam menerima kenyataan tanpa menjadi apatis. Tidak hanya itu, suasana batin yang hidup membuat kita mampu mencintai atau paling sedikit memiliki belas kasih karena tahu betapa tidak enaknya hidup di dalam constant chaos and fear, confusion and disorientation. Ketika kita memandang atau berada di dekat orang yang sedang punya problem kejiwaan, yang terbaca oleh kita adalah ketidakmampuan dia menerima dan mengelola realita hingga segala yang ia yakini sebelumnya hancur berkeping-keping seiring dengan hancurnya keyakinan pada dirinya dan sekelilingnya. Manifestasi sikap yang kita lihat adalah usahanya untuk mempertahankan ilusi meskipun dengan membohongi diri sendiri. Kalau kita bisa merasakan dan mengerti 'chemistry ' penderita, di situlah muncul empati yang sejati. Memang rasa lelah dan tertekan akan terus datang dan pergi, tapi kalau kita sudah sampai pada titik dimana kita bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dalam jiwa penderita, banyak pula yang bisa kita pelajari untuk mencegah agar hal yang sama tidak terjadi pada yang lain, atau pada diri kita. Satu hal perlu kita ingat dan sikapi adalah setiap persoalan membawa pelajaran yang sangat berharga. Jangan sampai kita missed the lesson yang akhirnya problem ini akan terulang / terjadi akibat kelalaian kita. Sikap ignorant – atau tidak ambil pusing malah menjadi boomerang karena ignorant adalah awal problem disorientasi dari diri sendiri, lingkungan dan realita. Hidup bersama dengan anggota keluarga yang sedang berproblem, merupakan blessing in disguise. Bagaimana tidak, kita patut bersyukur karena masalah ini memaksa kita untuk belajar, berpikir, mencari tahu dan bahkan ganti pola pikir untuk bisa melihat jelas, pola apa yang salah pakai pada diri kita, sejauh mana kontribusi kita masing-masing baik secara langsung atau pun tidak atas munculnya persoalan ini atau pun atas terbentuknya relasi dan situasi yang semacam ini di dalam keluarga. Kasus ini memaksa kita untuk ganti paradigma pikir dan ganti cara hidup karena cara hidup lama tidak menyediakan referensi bagi solusi karena dibatasi oleh perspektif yang sempit dan nilai-nilai yang tidak lagi tepat untuk di aplikasikan. Setelah melihat semua ini, apakah kita masih berpikir untuk bersikap 'who cares....?' bersikap ignorant pada diri sendiri, keluarga dan pada 'guru' kehidupan kita, yang tidak lain adalah anggota keluarga yang saat ini sedang mengalami problem kejiwaan. Membantunya, berarti membantu diri kita dan membantu generasi anak-anak kita untuk lepas dari persoalan yang polanya sama dari masa ke masa.
0 komentar:
Posting Komentar