Dari Klakson Sampai NAZA Seorang ibu yang kelihatannya bijak, tak kuasa menahan diamnya. Ibu itu lantas menulis opininya di majalah. ”Bangsa kita sekarang ini, tak peduli mau remaja, muda atau tua, sudah kecanduan klakson di jalan raya”, tulisnya. ”Habis gimana, dikit-dikit main klakson, sampai orang jatuh pun masih diklakson, apa nggak gile itu namanya?”, begitu ia paparkan alasan. Kalau kita bahas secara serius, mungkin istilah yang dipakai ibu itu bisa tepat dan bisa tidak. Jika kecanduan (addiction) itu didefinisikan sebagai perilaku yang tak terkontrol, yang membuat orang tak peduli dengan akibat (buruk), mungkin bisa. Bunyi klakson yang menandai tergerusnya sensitivitas empatik kita sebagai bangsa memang sudah pantas disedihkan. Secara umum, istilah kecanduan itu digunakan untuk menyebut perilaku yang merupakan akibat dari keinginan yang sudah tak terkontrol. Kata kuncinya di sini adalah hilangnya kontrol, misalnya main game atau PS. Jelek dan baiknya akan tergantung pada kontrol. Remaja yang main game atau PS pada porsi yang terkontrol, kira-kira hanya bermain sabtu / minggu dan tidak lebih dari 2 jam, materinya selektif, pola ini bisa punya pengaruh positif dalam melatih problem solving dan analisa prediksi. Tapi bila sudah sampai pada candu, yang antara lain ditandai dengan: menginap di warnet seperti yang diberitakan televisi, menjadi depresi ketika jauh dari PS, lebih asyik main sendirian berjam-jam ketimbang berkumpul dengan keluarga, maka akan berpengaruh negatif. Pengaruhnya antara lain: perilaku yang meledak-ledak, kegemukan, kurang terlatih dengan budaya verbal, tumpulnya kemampuan sosial, dan budaya instan (The Media Diet for Kids, Teresa Orange, dkk, 2007). Penelitian lain mengungkap, remaja yang menghabiskan waktu terlalu banyak dengan menonton TV atau main Game akan cenderung mudah mengalami depresi di awal usia dewasa. Dalam studi dibuktikan, remaja yang mengakses media elektronik sebanyak 5, 68 jam perhari, ternyata ketika usianya 21 tahun, sangat rentan terhadap depresi (Media Indonesia, 04/Feb/09). Itu contoh dari perilaku yang jeleknya disebabkan karena kecanduan, tak terkontrol. Ada perilaku yang jeleknya itu karena perilakunya sendiri dan kecanduannya. Jadi double jeleknya. Penyalahgunaan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif) adalah contoh yang nyata tentang hal ini. Temuan para psikiater menyimpulkan, NAZA mengganggu fungsi sistem pikiran, perasaan, dan perilaku. Selain itu, sering menimbulkan komplikasi medis, misalnya kelainan pada paru-paru, lever, jantung, ginjal, dan organ tubuh lainnya (Prof. Dadang Hawari, FKUI, 2003). Celakanya, siaran pers Kapolri, dengan terungkapnya pabrik ekstasi di Depok, Jepara, dan Tangerang, menyebutkan Indonesia sudah merupakan produser, pengedar, dan pengguna narkoba yang sangat diperhitungkan dunia atau sudah sampai pada tingkat kegawatan yang tidak bisa lagi mengandalkan peranan aparat. Kenapa? Ada petuah bijak terkenal yang pas untuk direnungkan tentang hal ini. Petuah itu mengingatkan, maju dan mundurnya bangsa akan tergantung pada kualitas pemudanya. Ini karena ke tangan merekalah nanti estafet kepengurusan bangsa ini akan diserahkan. Kalau melihat kecenderungan dimana pemuda yang jadi pecandu narkoba mengalami peningkatan per-tahunnya, dengan skala yang sangat melambung tajam, tentu ini mengerikan. Pengertian Kecanduan Di wacana teoritisnya, addiction (kecanduan) itu sedikitnya punya dua pengertian, yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya menjelaskan, kecanduan itu adalah keranjingan (perilaku tergila-gila seperti orang kemasukan roh jahat), yang sudah mampu memuat seseorang melupakan yang lain. Pengertian umum ini sama seperti yang dijelaskan dalam kamus bahasa Inggris, seperti Merriam Webster’s, yang menggaris-bawahi adanya devote (pencurahan gila-gilaan) dan surrender (menyerah-tidak-berdaya) terhadap sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan atau secara obsesif dilakukan, misalnya judi, rokok, maling, madon, belanja, dan lain-lain. Intinya, kalau merujuk ke pengertian umum ini, adiksi adalah munculnya semacam tuntutan / paksaan internal untuk mengulang perilaku tertentu yang membuat orang tak peduli akibat-buruknya. Adiksi ditandai dengan bertambahnya fokus seseorang terhadap perilaku itu dan bertambahnya jumlah perilaku lain yang dimatikan / terabaikan. Sedangan pengertian khususnya diarahkan untuk menyebut perilaku penyalahgunaan narkoba, narkotika, atau NAZA, yang bisa mengubah perilaku natural seseorang, misalnya menjadi mabuk atau sakaw, mengubah fungsi kapasitas batin (the mind/the mental), atau memberikan efek destruktif bagi jiwa dan raga. Kalau menyimak pengalaman mantan pengguna dari berbagai tayangan dan laporan, benar-benar dahsyat efek destruktifnya, berhenti susahnya bukan main, tapi kalau tidak berhenti, ancamannya kehancuran dan kematian. Sehingga karena saking dahsyatnya itu, sampai ada mantan pengguna yang menyimpulkan bahwa keberhasilannya keluar dari jeratan narkoba semata karena ada mukjizat. Ungkapan semacam itu bisa kita maklumi karena menurut beberapa laporan, begitu seseorang sudah menjadi candu, maka niatnya untuk berhenti harus berhadapan dengan berbagai rasa sakit, baik fisik atau jiwa, seperti menggigil, hilangnya gairah hidup, dan lain-lain. Karena itu, dorongan yang paling kuat muncul adalah keinginan untuk mengatasi rasa sakit itu dengan mengkonsumsi lagi dan kalau bisa dengan dosis yang lebih tinggi. Bahkan kata mereka, tak tahannya mereka saat menahan sakaw itulah yang membuatnya berani melakukan apa saja, misalnya menjual rice cooker orangtua yang masih ada nasinya, menjual diri bagi perempuan, mencuri, dan lain-lain. Karena itu, pesan pendek yang menjadi ringkasan perjalanan hidup mereka adalah: jangan sekali-kali mencoba! ”Jangan engaku tenggak racun karena engaku berpikir punya penangkalnya” (Petuah Bijak) Self Hate (Kebencian diri) Kebencian diri? Apa ada orang yang membenci dirinya? Bukankah semua manusia itu punya naluri mencintai dirinya dan akan membela dirinya mati-matian termasuk walaupun salah? Lantas, apa hubungannya dengan soal kecanduan dan penyalahgunaan narkoba, narkotika, dan NAZA? Cinta diri itu ada yang minus atau cinta yang didorong oleh nafsu egoisme (setan) dan ada yang plus atau cinta yang didorong oleh kesadaran akan nilai-nilai (Tuhan), yang baik, yang benar, dan yang membawa kemanfaatan. Pendeknya, tidak semua cinta diri itu positif atau negatif. Bila ada orang yang terus berkeras-kepala untuk membela kesalahan, keburukan, dan penyimpangan dirinya, padahal sudah banyak petunjuk yang mengingatkan, entah itu omongan orang, bacaan atau bukti-bukti, maka cintanya dia di situ masih sangat kuat kandungan hawa nafsunya. Hawa nafsu sangat berpotensi menimbulkan akibat buruk atau pangkal keburukan. Cinta diri yang didorong nafsu ini punya dua bentuk ekspresi. Pertama, saat di depan orang lain (komunikasi eksternal), kita akan membela diri secara egoisme, misalnya tak mau dengar nasehat yang baik. Kedua, tapi, di depan diri sendiri atau saat kita melakukan komunikasi dengan diri sendiri secara internal, maka kita lebih sering memunculkan berbagai kebencian terhadap diri sendiri. Inilah pengertian kebencian-diri itu. Bentuknya antara lain: punya opini negatif terhadap diri, punya perasaan negatif terhadap diri sehingga mudah merasa tidak bahagia atau mudah stress, punya sikap mental negatif, dan sampai ke tingkat pembiaran perilaku yang berakibat buruk pada diri sendiri. Kalau pakai bahasa agama, awal kebaikan seseorang terhadap dirinya adalah kesyukuran (tradisi hidup positif). Secara psikis, kebencian diri termasuk sebab yang fundamental atas perilaku adiktif terhadap zat yang merusak. Ini dikaitkan dengan motif dasar yang bekerja di balik prilaku itu. Motif dasar kenapa orang lari ke barang haram adalah keinginannya untuk merasakan kebahagian hidup yang tidak didapatkan dari dalam diri. Karena ada kebencian di dalam itulah maka reaksinya adalah pelarian mencari kebahagian ke luar. Ini sangat logis. Itulah kenapa banyak ahli yang berkesimpulan bahwa orang yang tumbuh-berkembang dengan dukungan inisiatif, motivasi, dan nilai-nilai positif akan memiliki perlindungan yang bagus dari kemungkinan terjebak oleh penyalahgunaan narkoba atau narkotika. Tapi tentu saja dalam prakteknya kebencian-diri itu bukanlah sebab atau karakteristik yang tunggal. Bisa saja ada yang karena bujukan, ikutan-ikutan, atau karena ada sekian faktor internal dan eksternal tertentu yang bersinergi untuk mendukung seseorang menjadi kecanduan terhadap barang-barang haram. Beberapa kasus yang dialami anak-anak tingkat sekolah dasar (SD), waktu di tanya dari mana mendapatkan benda itu, si anak bercerita bahwa awalnya ia dikasih barang semacam rokok oleh pedagang asongan yang biasa mangkal di sekolahnya secara gratis atau dari seorang kakak yang baik hati. Lama kelamaan ketagihan sampai kemudian disuruh beli dan berlanjut hingga SMA. Siapakah yang Rentan? Selain ada kebencian diri yang sifatnya sangat psikis itu, ada semacam warning yang bisa kita baca sebagai tingkat kerentanan kita terhadap potensi jeratan itu. Dari pemaparan kolumnis Psychology Today (Sept/2008), Martin Paulus, dan sumber lain yang relevan, ada beberapa point inti yang bisa kita jadikan petunjuk, seperti di bawah ini: Pertama, gaya hidup lingkungan. Jika Anda berada di tengah para pemakai (keluarga, teman sekolah, atau komunitas), maka Anda rentan, meski belum pasti akan terbawa. Karena itu, hindari lingkungan yang mendukung ke sana dengan mencari lingkungan lain atau menciptakan lingkungan sendiri. Ini bahkan diakui sangat penting bagi orang yang telah berhasil berhenti. Orang lain memang tidak menentukan baik-buruknya kita, tetapi kalau kita ingin baik, kita butuh orang baik sebanyak mungkin. Kedua, obsesi atau imajinasi (self-fulfilling prophecy). Jika Anda selalu membayangkan kenikmatan yang akan Anda dapatkan dengan memakai barang haram itu, Anda termasuk rentan. Batalkan obsesi Anda itu. Kalau Anda membayangkan kebaikan, biasanya kebaikan itu tidak terjadi kecuali setelah diperjuangkan. Tapi kalau Anda membayangkan kejelekan, biasanya itu terjadi tanpa perjuangan. Ketiga, impulsivitas. Jika Anda mudah kehilangan kontrol, entah karena amarah yang membabi-buta atau karena lemah terhadap godaan dan ajakan, Anda termasuk rentan. Perkuatlah benteng diri dengan nilai dan mental. Amarah yang membabi-buta sangat kuat dorongannya untuk berbuat nekat sehingga merentankan kita untuk menjajal barang haram. Sama juga dengan kelemahan yang membuat kita mudah merasa terpaksa untuk bertoleransi terhadap hal-hal yang merusak. Keempat, haus sensasi eksternal. Jika Anda suka menggadaikan sumber kebahagiaan pada faktor eksternal, misalnya pada dugem (katanya singkatan dari dunia gemerlap) atau party yang happy-happy, Anda termasuk rentan. Temukan sumber kebahagian dari dalam diri, misalnya membaca, mengejar cita-cita, atau lainnya. Kelima, problem kekhawatiran atau kekacauan mental, misalnya mudah panik, ketahanan stress yang rendah, minder, atau tak jelas jatidirinya, dan lain-lain. Jika Anda termasuk orang yang kurang melatih kesabaran dalam menghadapi hidup, lebih-lebih ditambah dengan jatidiri yang kurang kuat, Anda termasuk rentan. “Jika Anda mampu menjalin hubungan yang sangat bernilai dengan dunia (dalam diri) Anda, maka terkikislah hajat Anda untuk mendapatkan kesenangan yang palsu di luar diri Anda” (Volkow)
0 komentar:
Posting Komentar