Pesantren Kesayangan ku

Pesantren Kesayangan ku
PONDOK PESANTREN BAITUL MAGHFIROH

IQRO

pendahuluan universalisme

BAB I

PENDAHULUAN

Ruang publik dan universalisme Islam adalah dua topik yang berbeda, namun memiliki relasi yang cukup penting dalampeta pemikiran Islam di Indonesia. Sejauh ini, kedua topik tersebut telah menjadi 'issue bersamaan bahkan menjadi arena perebutan makna di kalangan kelompok, aliran, atau mazhab pemikiran Islam yang eksis di negeri ini. Di satu sisi, universalisme sebagai 'doktrin normatif' tentang fungsi Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmat li al-'âlamîn) telah dipahami tidak secara monolitik. Di sisi lain, ruang publik yang bersifat spatio-temporal telah menjadi tempat strategis dimana gagasan universalime Islam yang dipahami secara beraneka ragam itu akan disemayamkan. Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan corak pemikiran Islam Indonesia mengenai konsep universalisme Islam. Penulis sendiri berasumsi bahwa perdebatan yang selama ini terjadi di kalangan sarjana dan agamawan Muslim di Indonesia tentang fungsi agama dalam wilayah publik, baik itu yang pro maupun yang kontra, ternyata dilatarbelakangi oleh argumen dan klaim yang sama, yakni sama-sama mengkampanyekan universalisme agama.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pemilihan topik ini.

  1. Sebagaimana kita sadari, dewasa ini perdebatan tentang peran agama dan ruang publik di Indonesia telah memunculkan varian-varian baru dalam konfigurasi Islam di Indonesia. Berdasarkan ekspresi keagamaan mereka, yang terdiri dari Santri, Abangan, dan Priyayi, fenomena saat ini dapat dikatakan lebih unik, karena varian-varian yang muncul merupakan derivasi kelompok santri itu sendiri. Para sarjana, dengan menggunakan istilah yang berbeda, umumnya mendefinisikan mereka ke dalam tiga kelompok: konservatif, moderat, dan liberal. Kategorisasi tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa telah terjadi proses politik dan revolusi budaya di kalangan Muslim Indonesia yang ditandai dengan semakin spesifiknya orientasi keagamaan mereka.
  2. Proses modernisasi di berbagai bidang yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan birokratisasi institusi-institusi sosial, termasuk di dalamnya institusi keagamaan, nampak nyata telah memberi warna tersendiri di kalangan agamawan Indonesia dalam mendefinisikan universalisme agama dan fungsinya dalam ruang publik.
  3. Konsep Syari'at Islam yang menjadi titik pijak kaum Muslim dalam mengkonsepsikan universalisme agama ternyata memiliki banyak dimensi yang, dalam manifestasinya, memberi peluang untuk memunculkan perbedaan atau bahkan perselisihan. Di dunia Islam, wacana tentang pelaksanaan syari'at memang acap melibatkan sentimen publik (public sentiment).Apalagi ketika wacana syari'at ini erat kaitannya dengan konsep umat, salah satu isu paling esensial dalam politik Islam. Sebagai sebuah konsep normatif, syari'at oleh sebagian besar kaum Muslim diyakini memiliki apa yang disebut oleh Seyyed Hossein Nasr 'Divine Will' atau 'Divine Law.' Namun demikian, reseptivitas kaum Muslim terhadap otoritas syari'at dalam keseharian mereka tidaklah sama.


















BAB II

UNIVERSALISME

  1. Posisi Ruang Publik dalam Modernisasi Institusi Formal

Dalam masyarakat modern, di mana institusi-institusi sekular telah memasuki sebagian ranah publik (public atmosphere), nampak jelas bahwa gagasan-gagasan religius dan institusi-institusi keagamaan semakin diprivatisasikan, dianggap sebagai insitusi-institusi non-formal, dan cenderung tergeser oleh meminjam Max Weber 'rasionalitas formal' (formal rationality) yang termanifestasikan dalam bentuk institusi-institusi formal. Selain masalah rasionalisasi, modernisasi memiliki implikasi lain dalam masyarakat. Fragmentasi sosial, menguatnya individualitas, dan semakin rapuhnya sense of community dalam masyarakat modern merupakan persoalan yang menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat agama.

Kendati gelombang modernisasi yang diikuti oleh birokratisasi dan bahkan sekularisasi institusi-institusi formal terus bergerak dengan dahsyat, hal itu tidak sepenuhnya mampu mengabaikan fungsi agama dalam masyarakat, dan tidak pula dapat meng-eradikasi secara total kecenderungan masyarakat untuk mentransformasikan nilai-nilai religius mereka. Mengenai hal tersebut, Lebih jauh, kita bisa melihat bahwa yang terjadi saat ini justru adanya perebutan klaim, terutama ketika agama-agama bangkit menorehkan kembali superioritasnya dalam institusi-institusi formal, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.

Varian-varian baru Muslim yang muncul sebagai akibat dari respons yang berbeda terhadap modernisasi tersebut muncul di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kasus di Indonesia boleh di bilang unik. Meski dianggap Islam peripheral, Indonesia menyandang predikat negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Sebagai negara yang sudah "mandiri" secara politik, Indonesia, seperti halnya beberapa negara berpenduduk Muslim lainnya yang pernah menjadi negara-negara Eropa, telah mengadopsi dan mereformulasi sistem sosial-politik yang berkembang di Barat, dan pada saat yang sama Indonesia mengadopsi sistem nilai berbasis agama dan moral-tradisi lokal. Tak pelak, Indonesia acap disebut
bukan negara sekular dan bukan pula "negara agama." Posisinya yang seperti itu jelas memberi peluang lebih besar untuk terjadinya pergulatan di kalangan Muslim dalam mendefinisikan universalisme agama dan engimplementasikannya dalam ruang publik. Apalagi fakta enunjukkan bahwa Indonesia juga adalah negara yang sangat plural dan multikultural.

Reformasi politik, hukum, sosial, dan budaya memberikan ruang terlebih dahulu untuk adanya reformasi yang murni bersifat intelektual. Reformasi sosial dan budaya seperti tentang individu, keluarga, dan institusi sosial lainnya juga membutuhkan perubahan perangkat pendampingnya, yakni kebijakan politik dan hukum.

  1. Universalisme Islam, Ruang Publik dan Kemunculan Varian Baru Muslim

Ruang publik adalah ruang yang terbuka dan menjadi tempat bertemunya" gagasan atau opini yang dimiliki oleh masyarakat sipil (civil society) dengan gagasan atau opini yang merepresentasikan sebuah struktur politik tertentu. Karena sifatnya yang terbuka, ruang publik adalah tempat di mana meminjam Habermas semua elemen masyarakat berkepentingan dan berkesempatan untuk "come together to form a public." Habermas menyatakan bahwa ruang publik merupakan sebuah domain dari kehidupan sosial di mana opini publik dapat terbentuk. Akses terhadap ruang publik sangat terbuka bagi semua entitas masyarakat. Individu dari berbagai latar belakang yang berbeda dapat masuk, bergabung dan "berbincang" dalam ruang tersebut dan sekaligus membentuknya opini publik. Dalam ruang yang merupakan "milik bersama" itu, seseorang, tanpa harus merasa terpaksa atau tertekan, dapat bersikap dan berbicara
dengan bebas sebagai "anggota publik", terutama bila menyangkut kepentingan publik. Karena ruang publik bukan sekadar ruang fisik, tapi juga "ruang wacana" dan "ruang komunikasi" maka ruang publik dalam telaah Habermas juga berkaitan dengan masalah "bentuk komunikasi publik" tentang hal-hal yang berkaitan dengan publik, yang Habermas menyebutnya "political public sphere"

Prinsip-prinsip ruang publik melibatkan diskusi yang terbuka tentang berbagai persoalan di mana argumentasi diskursif digunakan untuk menegaskan kepentingan umum. Oleh karena itu, ruang publik mengisyaratkan kebebasan berpendapat dan berkumpul (freedoms of speech and assembly), kebebasan pers, dan adanya kebebasan untuk berpartisipasi dalam debat politik dan pembuatan keputusan. Jadi, diskursus tentang ruang publik dalam pemahaman Habermas, dikaitkan dengan wacana politik. Misalnya ia mengatakan bahwa kekuatan negara (state power) pada dasarnya merupakan kekuatan publik (public power), namun negara punya kewajiban tertentu terhadap publik, antara lain memberikan kesejahteraan, kepastian hukum memberikan informasi yang benar terhadap publik terhadap persoalan-persoalan yang merupakan hak publik untuk mengetahuinya. Jadi dalam konteks ini, ruang publik merupakan sebuah ruang yang menghubungkan negara (state) dan masyarakat (society), di mana publik merupakan "kendaraan" atau "wadah" untuk membentuk opini publik. Pendek kata, ruang publik seharusnya dapat menjembatani individu atau kelompok masyarakat yang ada dan bahkan antara individu, kelompok masyarakat, dan negara.

  1. Ruang Publik dan Formalisasi Syari'at Islam

Tidak sampai di situ, dalam konteks Indonesia yang mengadopsi nilai-nilai agama, debat terbuka tentang persoalan "kepentingan publik," institusi-institusi formal, dan kepentingan yang bersifat ideologis-religius sudah memiliki sejarah cukup panjang di kalangan Muslim. Selepas kejatuhan rejim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki sebuah tahapan baru perdebatan tentang peran Islam dalam kehidupan publik. Situasi ini ditandai oleh munculnya berbagai pandangan keagamaan atau gerakan keagamaan yang memiliki konsen serupa. Organisasi yang paling kasat mata diantaranya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berupaya mempromosikan Islam sebagai dasar negara dengan menyertakan penegakkan kembali Piagam Jakarta (the Jakarta Charter) ataupun menegakkan kembali konsep al-khilafah al-Islâmiyyah dengan mengadopsi Piagam Madinah (the Medina Charter, dustûr al-madînah) sebagai pilar historis dan politiknya, ataupun Front Pembela Islam (FPI) yang punya visi dan artikulasi tersendiri dalam memberikan treatmen terhadap instiusi-institusi sosial. Kemudian, wilayah publik menjadi subjek utama perdebatan di kalangan Muslim, selaras dengan munculnya kelompok-kelompok Muslim lain seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun Yayasan Paramadina yag sudah terlebih dahulu berdiri dan cenderung mengangkat isu-isu yang agak berseberangan yang direpresentasikan dengan dukungan mereka terhadap model sistem sosial dan politik demokrasi. Dalam konteks ini, penulis sendiri akan lebih memokuskan diskusi kepada dua persoalan: pertama, bagaimana kelompok-kelompok yang ada memaknai niversalisme Islam pada wilayah publik, dan kedua, bagaimana ruang publik digunakan arus wacana tertentu yang memberikan citra sendiri tentang Islam di Indonesia.

HTI menekankan bahwa Syari'at Islam mencakup masalah publik dan privat sekaligus. Pada level privat, Syari'at Islam meliputi hukum keluarga (pernikahan, perceraian, dan waris) dan masalah ekonomi atau masalah keuangan lainnya (perbankan, zakat, dsb). Pada level publik, syariah mengatur hal-hal seperti kewajiban melaksanakan ajaran agama (kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan, pelarangan alkohol, judi, dsb), realisasi hukum-hukum kriminal, dan menegakkan Islam sebagai dasar negara melalui merestorasi al-khilâfah.[17] Menarik untuk dicermati lebih jauh fakta bahwa HTI mengklasifikasikan pelaksanaan ajaran Islam seperti mengenakan jilbab kepada wilayah publik, bukan privat, dan pada saat yang sama menempatkan masalah perekonomian pada sektor privat, bukan sebagai kebutuhan umat secara kolektif.

2. Universalisme Islam dan Sekularisasi Institusi Formal

Pemikiran tentang kepentingan publik, institusi formal dan posisi agama di dalamnya dilontarkan oleh kelompok lain yang relatif memiliki ide berbeda dan berseberangan. Di Indonesia, cendekiawan Nurcholish Madjid, pendiri Yayasan Paramadina, beberapa dekade silam sudah mengajukan tesis tentang relasi agama dan negara serta peran agama dalam institusi-institusi publik. Konsep "modernisasi" yang ikampanyekannya sesungguhnya dapat dikatakan sebagai wujud lain dari upaya universalisasi nilai-nilai Islam. Ia kerap menyatakan bahwa modernisasi yang diusungnya bukanlah dalam pengertian "werternisasi," sebuah proses yang sempat menyertai pembaharuan Islam di Turki, melainkan "rasionalisasi," dan ia secara konsisten membawa gagasan-gagasan inklusivisme, pluralisme, dan demokrasi. Selaras dengan apresiasinya terhadap sekularisasi, gagasan Madjid tentang "Islam Yes, Partai Islam No," yang mengisyaratkan sikapnya dalam pemisahan antara agama dan politik telah mengundang perdebatan panjang di kalangan para akademisi dan politisi Muslim. Bila beberapa kelompok keagamaan seperti yang dikemukakan pada bagian sebelumnya cenderung menuntut formalisasi syari'at baik melalui restorasi "Piagam jakarta" ataupun "Piagam Madinah," Madjid secara politis cenderung untuk menghindari gagasan ini dan berkeinginan mendemonstrasikan Islam sebagai konsep etika universal yang dapat bersintesis dan berkompromi dengan konteks Indonesia.Dia berargumen bahwa eskpresi-ekspresi simbolik melalui formalisasi syari'at dalam UUD UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 1, akan membuka kotak Pandora dan boleh jadi memicu konflik horisontal dalam masyarakat Indoensia yang memang multi-religious. Dalam mendefinisikan peran agama dam ranah publik, Madjid menekankan pentingnya ijtihad dengan intensi bahwa universalitas etika Islam akan dapat menemukan tempatnya dalam konteks Indonesia. Baginya, Pancasila sebagai dasar negara adalah "rekonsiliasi ideal" antara spirit Islam dan alam plural masyarakat Indonesia. Untuk menguatkan formasi dan komitmen keumatan di Indonesia, Madjid mencoba memodifikasi struktur berpikir di kalangan Muslim, dari orientasi politik kepada orientasi intelektual dan budaya. Melalui program "sekularisasi"-nya, Madjid juga mengharapkan bahwa kaum Muslim dapat men-sekularkan apa yang seharusnya sekular seperti institusi politik, budaya, dan sosial.

3. Moderatisme dan Dilema Islam Mainstream

Mayoritas masyarakat Indonesia dianggap sebagai moderat dalam pemikiran dan aksi. Moderatisme ini umumnya dimaknai sikap moderat dalam cara pandang politik yang digunakan. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sejauh ini dianggap sebagai organisasi yang sangat esensial dalam merepresentasikan moderasi Islam Indonesia. Sudah beberapa dekade silam sarjana seperti Deliar Noer, Mitsuo Nakamura,[ Greg Barton, dan Greg Fealey mencap organisasi ini sebagai modernis-reformis dan traditionalis. Namun demikian, pembedaan semacam ini sudah tidak signifikan lagi saat ini, terutama ketika kedua organisasi tersebut acap dikategorikan sebagai kelompok "Islam moderat" seiring dengan kemunculan dua kubu yang sangat berseberangan, yakni kelompok revivalis-konservatif dan liberalprogresif. Moderatisme yang ditunjukkan Muhammadiyah dan NU dalam wacana agama dan politik di Indonesia telah menarik perhatian sarjana Barat seperti Robert Hefner, Martin van Bruinessen, dan Andrée Feillard yang menyebut kedua organisasi ini sebagai "pillars of civil society."



















BAB III

PENUTUP


Demikianlah paparan makalah yang berjudul UNIVERSALISME semoga bermanfaat bagi teman – teman mahasiswa. amin



























DAFTAR PUSTAKA


http://psap.or.id/jurnal.php?id=7

http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/esai/49-sosiologi/362-mendefinisikan-universalisme-islam.html

Artikel Terkait



0 komentar:

geo fles