Pesantren Kesayangan ku

Pesantren Kesayangan ku
PONDOK PESANTREN BAITUL MAGHFIROH

IQRO

Psikologi Individual Permusuhan Batin


Kehilangan Perspektif

Praktek hidup sedikitnya mengenal dua bentuk permusuhan, yaitu permusuhan lahir / fisik (fisik dalam arti kelihatan dan fisik dalam arti kekerasan dengan menggunakan "akal") dan permusuhan batin / non-fisik atau bentuk permusuhan yang tidak kelihatan secara nyata. Bentuk permusuhan pertama memang perlu juga diwaspadai tetapi ini biasanya terjadi dengan sepengetahuan kita. Di samping itu, ada banyak instrumen eksternal yang membantu kita untuk meredamnya dan kalau dilihat dari sisi jumlah secara keseluruhan, memang agak terbatas.
Bentuk permusuhan yang terkadang kita lakukan di luar pengetahuan dan kesadaran kita dan tidak ada instrumen eksternal yang membatasinya serta jumlahnya tak terbatas adalah bentuk permusuhan kedua yang terjadi antara kita dengan orang yang hampir setiap hari kita ajak berinteraksi, entah itu soal pekerjaan, sekolahan, keluarga dan lain-lain. Mungkin inilah satu dari sekian "dark-side" (sisi buruk) dari hubungan yang dekat. Karena itu, ada pesan yang patut kita renungkan tentang hubungan yang dekat, yaitu: jangan-jangan hubungan kita itu hanya "diduga" bersatu padahal bersiteru, jangan-jangan hanya kelihatannya saja kita ini akrab padahal tidak, jangan-jangan hanya di luarnya saja baik tetapi di dalamnya tidak, dan seterusnya.
Bagaimana ini terjadi? Ada yang perlu kita jadikan semacam rujukan yang bisa menjelaskan tentang bagaimana asal-usul permusuhan batin itu muncul di dalam diri kita. Kalau merujuk pada hasil kajian Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996), kira-kira asal-usul itu bisa dijelaskan sebagai berikut:
  • Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada diri orang lain
  • Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
  • Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
  • Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi)
  • Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.

Itu hanya salah satu dari sekian proses atau asal-usul yang bisa dijelaskan di sini. Intinya, apa yang bisa kita pahami tentang permusuhan batin dalam praktek hidup itu adalah ketika kita sudah kehilangan perspektif atas orang lain sebagai akibat dari akumulasi perasaan atau penilaian negatif. Kita hanya mampu melihat hal yang jelek-jeleknya saja atau hal-hal yang pantas dimusuhi saja atau malah kita kehilangan keadilan dalam menilai.

Mengapa Perlu Diwaspadai?

Jika ini dikaitkan dengan upaya kita untuk meningkatkan prestasi di bidang pilihan kita, entah itu pekerjaan, usaha, akademik, dan lain-lain, maka ada sedikitnya tiga alasan mendasar yang layak untuk diingat, yaitu:

1. Sasaran fokus
Kalau dipukul rata bisa dikatakan bahwa semua orang yang pergi ke tempat kerja, ke sekolah / kampus atau ke tempat usaha, memiliki tujuan yang bagus, dari mulai mencari nafkah, mencerdaskan diri, meningkatkan prestasi dan seterusnya. Namun sayang dalam prakteknya, fokus kita melenceng pada orang yang tidak kita suka / kita musuhi, bukan pada sasaran utama kita - untuk mengejar cita-cita. Akibatnya, sasaran kita jadi terlantar.
Ada saatnya untuk patut curiga, jangan-jangan ketidak-optimalan kita mencapai sasaran itu bukan karena kita tidak mampu tetapi karena kita jarang memikirkannya. Jangan-jangan pikiran kita lebih sering kita gunakan mengurusi orang lain yang kita musuhi ketimbang orang lain yang baik sama kita. Secara umum mungkin kita perlu menjadikan ungkapan Robert McKain sebagai bahan renungan: "Alasan mengapa kita sering gagal, karena kita telah menggunakan waktu kita untuk mengerjakan hal-hal yang kurang utama bagi sasaran kita".
Menurut pengalaman Bruce Lee, mewujudkan sasaran atau tujuan, menuntut upaya batin dalam mengerahkan fokus pada sasaran seperti sinar laser. Fokus pada sasaran seperti sinar laser ini bukan hanya akan membuat kita melupakan permusuhan batin yang kita buat sendiri, melainkan bisa membuat kita terkadang lupa sarapan, seperti yang diungkapkan oleh Charles Schewabb.
2. Praktek Reaktif
Kalau boleh didefinisikan, praktek reaktif adalah tindakan yang didasari oleh dorongan eksternal (stimuli) yang tidak lagi kita saring menurut tujuan, sasaran, atau kebutuhan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sering dicontohkan bahwa di sana ada banyak orang yang membangun rumah atau membeli barang-barang rumah tangga bukan karena memang itu dibutuhkan tetapi karena tetangganya membeli.
Jika dijelaskan menurut Teori Logika, praktek demikian lahir dari keputusan reaktif yang biasanya didorong oleh keinginan asal-beda, asal tidak kelihatan kalah, supaya bisa kelihatan lebih unggul dari orang lain, dan lain-lain. Menurut Teori itu, keinginan demikian sangat berpotensi melahirkan keputusan yang salah dalam praktek atau minimalnya (meminjam istilah Stephen Covey) melahirkan kebiasaan hidup tidak efektif. Kita melakukan sesuatu bukan atas dasar tujuan, sasaran, kebutuhan, keinginan dan keuntungan kita, melainkan atas keinginan supaya bisa mengalahkan atau supaya tidak kelihatan kalah. Praktek demikian tentu sulit dipisahkan dari permusuhan batin yang kita buat sendiri.
Harus diakui bahwa terkadang keinginan demikian sulit dihindari dan mungkin terkadang dibutuhkan.Tetapi jika kadarnya sudah berlebihan dan kita menempati posisi sebagai pihak yang dikuasai hawa nafsu, maka dampak buruk tak dapat dielakkan.
Kita diajarkan untuk memasuki wilayah persaingan (kompetisi) karena di sini merupakan wadah mengasah keunggulan. Tetapi yang tidak boleh kita lakukan adalah permusuhan atau persaingan yang tidak sehat (kongkurensi, to conquer, menaklukkan).
3. Burn-out
Merujuk pada penjelasan Henry Neil dalam "13 Signs of Burnout and How To Help You Avoid It" (IAN, International Assessment Network and MAPP: 2003), burn-out adalah virus yang menyerang kita sampai membuat kita kehilangan motivasi, kehilangan inspirasi, dan kehilangan jurus dalam beraksi, "missing-action", entah itu berkaitan dengan karir, usaha, olahraga atau kegiatan akademik.
Apa yang menyebabkan kita terkadang seperti seorang penyair yang kehabisan kata-kata? Tentu sebab-sebabnya tidak bisa didetailkan satu persatu dalam tulisan tetapi salah satunya yang perlu diaudit adalah adanya bentuk permusuhan batin yang tidak kita hentikan atau yang kita biarkan. Karena itu Danien Goleman yang kita kenal telah banyak menaruh perhatian di bidang Kecerdasan Emosional menjelaskan bahwa orang yang menolak mencerdaskan emosinya akan mendapatkan dampak buruk yang antara lain adalah (Emotional Intelligence And You, Doug Gray, Action Learning Associates, Inc. 2001 - 2005 ):
  1. Mudah dibikin kalut oleh perubahan buruk
  2. Kurang mampu bekerjasama, mudah patah dalam menjalin hubungan dengan orang lain
  3. Sering terputus hubungan dengan diri sendiri akhirnya gampang kalap
  4. Mudah terserang virus yang bernama "burn-out"
  5. Mudah terkena "over" antara: mudah kebablasan atau terlalu hati-hati)

Harus diakui memang bahwa untuk memiliki kemampuan memfokus pada tujuan seperti sinar laser, untuk membiasakan praktek proaktif, dan untuk melangkah secara lancar (tanpa burn-out), tidak bisa diwujudkan dengan hanya menghilangkan permusuhan batin semata tetapi ketika permusuhan batin ini tidak kita hentikan, maka keberadaannya akan mengganggu fokus, kelancaran dan praktek kita.

Pembelajaran

Satu dari sekian jurus yang bisa kita pilih untuk menghentikan permusuhan batin adalah berikut ini:

1. Cepat mengingat / menyadari tujuan
Prakteknya sering membuktikan bahwa tujuan itu tidak cukup hanya diingat sekali atau hanya ditulis sekali di agenda. Banyak praktek yang menyimpang dari tujuan hanya disebabkan oleh faktor lupa dalam arti tidak sadar atau tidak "eling". Karena itu banyak pakar SDM yang menyarankan agar kita menulis tujuan itu di tempat-tempat yang sering kita lihat, seperti di buku agenda, di file komputer atau di meja kerja. Bahkan ada yang menyarakan supaya tujuan itu diungkapkan dalam bentuk gambar agar otak kanan kita juga bisa bekerja dan mudah diingat.
2. Membuat pembatas (personal boundaries)
Satu hal yang perlu disadari bahwa kalau kita melihat permusuhan batin ini dari sisi orang lain, tentulah tidak akan ada habisnya. Ada beberapa hal dari orang lain yang bisa kita kontrol atau bisa kita cegah atau bisa kita ajak kompromi untuk menghindari permusuhan batin tetapi ini tidak mungkin semuanya.
Karena itu, yang bisa kita lakukan adalah membuat pembatas di dalam diri kita yang menjelaskan tentang apa saja dari orang lain yang bisa kita beri toleransi, apa saja yang tak penting untuk dipikirkan atau diurusi, dan apa saja yang perlu dibicarakan. Membuat pembatas ini bukan untuk membatasi orang lain tetapi untuk membatasi diri kita sendiri agar jangan sampai sedikit-sedikit kita terpancing untuk bermusuhan secara batin dengan standar dan alasan yang tidak jelas dan tidak substansial.
3. Mengedepankan manfaat (advantages)
Kerapkali terjadi bahwa salah satu faktor yang memperpanjang durasi permusuhan, entah itu lahir atau batin, adalah karena cara berpikir kita yang dualisme, siapa yang benar dan siapa yang salah. Lebih-lebih lagi, meminjam istilah Paulo Coelho, ketika keduanya sama-sama merasa mendapatkan dukungan dari Tuhan.
Kalau kita sudah bicara siapa, maka di dunia ini siapa yang paling benar adalah kita dengan seperangkat alasan yang kita miliki dan begitu juga dengan orang lain. Karena itu Stephen Covey pernah menjelaskan bahwa jika siapa yang benar itu diadu antara milik kita dengan milik orang lain, maka yang terjadi adalah permusuhan, perang, dan pertahanan egoisme kebenaran-sendiri.

Untuk mengatasi hal ini maka salah satu pilar peradaban manusia mengajak kita untuk menggunakan pola berpikir yang berasaskan pada "apa manfaatnya" atau "apa yang benar" bukan "siapa yang benar". Apa yang benar adalah “the best” sedangkan siapa yang benar adalah "the good". Seringkali yang menghalangi kita mendapatkan the best adalah karena kita lebih sering mempertahankan the good menurut versi kita.

Artikel Terkait



0 komentar:

geo fles