Pesantren Kesayangan ku

Pesantren Kesayangan ku
PONDOK PESANTREN BAITUL MAGHFIROH

IQRO

Psikologi Klinis Resiko Yang Rentan Dihadapi Oleh Homoseksual

Setiap identitas status yang melekat pada seseorang, setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang dilakukan pasti mengandung resiko. Bahkan hidup sendiri adalah sebuah resiko yang harus dijalani dan dihadapi. Demikian juga dengan identitas seksual, baik itu heteroseksual, homoseksual, biseksual semuanya memiliki resiko yang harus dijalani dan dihadapi.

Berbicara mengenai homoseksual, resiko yang rentan dihadapi oleh homoseksual, dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu berdasarkan: sumber resiko & jenis resiko.

1. Sumber Resiko
Berdasarkan sumber resiko dapat dilihat sumber / asal usul darimana resiko tersebut datang. Maka resiko yang rentan dihadapi oleh homoseksual dapat dibedakan menjadi dua:

a. Resiko yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal

Keberadaan kaum homoseksual di tengah-tengah masyarakat dan di dalam berinteraksi / bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai, dan aturan tertulis maupun tidak tertulis, serta stereotipe yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan antara sesama jenis kelamin, norma agama yang tidak memperbolehkan hubungan homoseksual, aturan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat untuk menghindari relasi dengan kaum homoseksual, menutup kesempatan bagi kaum homoseksual untuk berkarya / bekerja, bersekolah atau pun kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang sama dengan yang lain.

Situasi di atas berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacan-macam dari lingkungan di sekelilingnya. Ada yang bersikap biasa, ada yang memandang sebelah mata, ada pula yang hingga perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan / dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja, serta masyarakat.

Inilah sekelumit gambaran resiko-resiko yang kerap dihadapi oleh kaum homoseksual ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat dan menjalin interaksi / bersosialisasi dengan lingkungannya. Tidak menutup kemungkinan ada kaum homoseksual yang menghadapi situasi dan respon berbeda dari masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan hukum dan budaya yang berlaku antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian sangat mungkin terjadi kaum homoseksual tertentu di masyakat A dengan budaya dan nilai-nilai tertentu memiliki resiko perlakuan yang berbeda dengan kaum homoseksual di masyarakat B dengan budaya dan nilai-nilai yang tidak sama.

b. Resiko yang berasal dari perilaku sendiri / lifestyle

Seorang homoseksual senantiasa berhadapan dengan adanya realitas gaya hidup tertentu yang berlaku di kalangan kaum homoseksual. Gaya hidup ini meliputi cara, perilaku, dan kebiasaan tertentu baik itu dalam mengekspresikan orientasi seksual, bersosialisasi, maupun menjalani hidup sehari-hari.

Gaya hidup tertentu pada kaum homoseksual dapat beresiko buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental & emosional, seperti: berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual (berhubungan intim); melakukan hubungan seksual yang tidak aman (tidak menggunakan kondom); melakukan anal sex; minum-minuman keras & narkoba.

A study of homosexual men shows that more than 75% of homosexual men admitted to having sex with more than 100 different males in their lifetime: approximately 15% claimed to have had 100-249 sex partners, 17% claimed 250-499, 15% claimed 500-999 and 28% claimed more than 1,000 lifetime sexual partners. (Bell AP, Weinberg MS. Homosexualities. New York 19781).

Penelitian mengenai homoseksual pria menunjukkan bahwa lebih dari 75% pria homoseksual mengaku telah melakukan hubungan seksual bersama lebih dari 100 pria berbeda sepanjang hidup mereka: sekitar 15% dari mereka pernah mempunyai 100-249 pasangan seks, 17% mengklaim pernah mempunyai 250-499, 15% pernah mempunyai 500-999, dan 28% mengatakan pernah berhubungan dengan lebih dari 1000 orang dalam hidup mereka. (Bell AP, Weinberg MS. Homosexualities. New York 19781).

Promiscuity among lesbian women is less extreme, but is still higher than among heterosexual women. Many 'lesbian' women also have sex with men. Lesbian women were more than 4 times as likely to have had more than 50 lifetime male partners than heterosexual women. (Fethers K et al. Sexually transmitted infections and risk behaviours in women who have sex with women. Sexually Transmitted Infections 2000; 76: 345-9.1)

Pada wanita-wanita lesbian, total jumlah pasangan seks lebih rendah, namun tetap diatas rata-rata jika dibandingkan wanita heteroseksual. Banyak wanita lesbian juga berhubungan seks dengan pria. Wanita lesbian 4 kali lebih memungkinkan untuk mempunyai lebih dari 50 pasangan pria sepanjang hidupnya dibandingkan wanita heteroseksual. (Fethers K et al. Sexually transmitted infections and risk behaviours in women who have sex with women. Sexually Transmitted Infections 2000; 76: 345-9.1)

Gaya hidup demikian beresiko terhadap terganggunya kesehatan fisik, seperti: STI's (Sexual Transmitted Infections) / STD's (Sexual Transmitted Diseases) termasuk HIV-AIDS; dan terganggunya kesehatan mental & emosional, seperti: kecemasan berlebihan, depresi, merusak / menyakiti diri sendiri, dsb.

2. Jenis Resiko

Berdasarkan jenis resiko, resiko yang rentan dihadapi oleh homoseksual dapat dibedakan menjadi tiga:

a. Resiko sehubungan dengan kesehatan mental dan emosional

LONDON, September 17, 2008 (LifeSiteNews.com) - A new study in the United Kingdom has revealed that homosexuals are about 50% more likely to suffer from depression and engage in substance abuse than the rest of the population, reports Health24.com2.

London, 17 September 2008 (LifeSiteNews.com) - Sebuah penelitian baru di UK menemukan bahwa orang-orang homoseksual 50% lebih rentan mengalami depresi dan menggunakan narkoba jika dibandingkan dengan populasi normal lainnya, laporan Health24.com2.

A 2004 issue of the The British Journal of Psychiatry, published a study of the high rates of mental illness in gay males, lesbians, and bisexual men and women. The study surveyed mental health problems faced by gays and bisexuals in England and Wales between September, 2000 and July, 2002. The survey was of 2,430 gays and bisexuals over the age of 16 years. It found high rates of planned or actual deliberate self-harm among these groups: 42% of gay males; 43% of lesbians; 49% of bisexual men and women. A similar study published by the Journal of Consulting and Clinical Psychology (Vo. 71, No. 1, 53-61, 2003) found the following: Gay men and bisexual men were more likely than heterosexual males to be diagnosed with at lest one of five mental health disorders. Lesbian-bisexual women were more likely than heterosexual women to report mental health-related problems in the year prior to being interviewed. 24% of lesbian, bisexual women were co-morbid for two or more mental disorders in the previous year3.

The British Journal of Psychiatry tahun 2004, mengeluarkan sebuah hasil penelitian mengenai penyakit mental yang tinggi pada pria gay, lesbian, dan pria & wanita biseksual. Penelitian ini mensurvei penyakit mental yang dialami oleh orang-orang gay dan biseksual di Inggris dan Wales antara September 2000 dan July 2002. Survey ini mencakup 2430 orang gay dan biseksual diatas usia 16 tahun. Penelitian menemukan rata-rata yang tinggi dalam melakukan perbuatan menyakiti diri sendiri baik yang di rencanakan atau disengaja di antara group ini: 42% pria gay, 43% lesbian, 49% pria dan wanita biseksual. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh The Journal of Consulting and Clinical Psychology menemukan hal sebagai berikut: pria gay dan biseksual lebih rentan di-diagnosa mengalami sedikitnya 1 dari 5 gangguan kesehatan mental daripada laki-laki heteroseksual. Wanita lesbian-biseksual lebih mungkin melaporkan diri mengalami masalah sehubungan dengan gangguan mental daripada wanita heteroseksual dalam tahun-tahun sebelum mereka di interview. 24% wanita lesbian dan biseksual mengalami 2 atau lebih gangguan mental di tahun sebelumnya3.

After analyzing 25 earlier studies on sexual orientation and mental health, researchers, in a study published in the medical journal BMC Psychiatry, also found that the risk of suicide jumped over 200% if an individual had engaged in a homosexual lifestyle2.

Setelah menganalisa sekitar 25 penelitian terdahulu mengenai orientasi seksual dan kesehatan mental, para peneliti mengatakan dalam sebuah jurnal medis BMC Psychiatry bahwa resiko bunuh diri dapat melambung hingga 200% jika seseorang terlibat dalam gaya hidup homoseksual2.

Two extensive studies published in the October 1999 issue of American Medical Association Archives of General Psychiatry confirmed the existence of a strong link between homosexuality and suicide, as well as other mental and emotional problems4.

Dua penelitian yang dilakukan oleh American Medical Association Archives of General Psychiatry pada Oktober 1999 menyatakan adanya hubungan yang kuat antara homoseksualitas dan perilaku bunuh diri, demikian juga dengan gangguan mental dan emosi lainnya4.

Youth who identify themselves as homosexual, lesbian and bisexual are four times more likely than their peers to suffer from major depression; three times more likely to suffer anxiety disorders, four times more likely to suffer conduct disorders, six times more likely to suffer from multiple disorders and more than six times more likely to have attempted suicide4.

Anak muda yang mengidentifikasi dirinya sebagai homoseksual, lesbian dan biseksual empat kali lebih mungkin menderita depresi berat, tiga kali lebih mungkin menderita gangguan kecemasan, empat kali lebih mungkin menderita gangguan perilaku, enam kali lebih mungkin menderita kombinasi gangguan mental, dan lebih dari enam kali lebih mungkin melakukan bunuh diri4.

Data-data penelitian yang dilakukan oleh berbagai sumber diatas membenarkan adanya resiko gangguan kesehatan mental dan emosional pada homoseksual, seperti: depresi, gangguan mental, gangguan kecemasan, gangguan perilaku (melakukan penganiayaan-kekerasan seksual atau fisik / sexual or physical abuse), menyakiti / melukai diri sendiri, hingga perilaku bunuh diri.


Dinamika penyebab gangguan mental & emosional
Apakah yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan mental dan emosional seperti demikian pada homoseksual? Terdapat beberapa penjelasan mengenai hal ini:

* Tekanan psikologis terhadap penderitaan / kondisi yang tidak menyenangkan, seperti: homophobia; HIV-AIDS; non HIV STD's seperti: Syphilis, Anal Cancer, Gonorrhoea, Chlamydia, Herpes, Genital Warts; masalah body image. Tekanan psikologis dapat membuat seorang homoseksual menjadi stres dan ketika ia tidak mampu menghadapi stres ini (distress), dirinya menjadi tidak terkendali dan tidak mampu mengkontrol dirinya sendiri. Dalam situasi demikian orang ini dikendalikan sepenuhnya oleh emosi-emosi negatif di dalam dirinya seperti: depresi, kecemasan / ketakutan yang berlebihan, mengasihani diri sendiri, amarah, iri hati, dsbnya.

* Negative self image
Negative self image terjadi ketika seseorang memandang dan meyakini dirinya sendiri tidak berharga, rendah diri (bukan rendah hati loh!), dan tidak berdaya (Internalised homophobia).

"Negative self image is views self as socially inept, unappealing, or inferior to others"
(www.medical-dictionary.com)

The concept of internalised homophobia depends on the idea that we develop a negative self-image from the attitudes of others towards our sexuality during our socialisation5.

Konsep homophobia internal melihat pada sebuah pemikiran dimana kita membangun self image negatif akan diri kita sendiri akibat dari perlakuan orang lain terhadap seksualitas kita selama kita bersosialisasi5.

Negative self image terbentuk pada seorang homoseksual ketika ia dihadapkan pada: pengalaman masa lalu yang menyakitkan (ditolak dan dianiaya / disakiti baik fisik maupun emosional oleh keluarga, teman-teman bermain di masa kecil, ataupun di sekolah); perlakuan yang tidak menyenangkan dari masyarakat (homophobia) seperti dengan: memberlakukan stereotipe tertentu mengenai homoseksual, men-cap atau memberikan label negatif tertentu, memberikan tekanan / memaksakan nilai-nilai, sikap, atau tindakan tertentu; serta faktor diskriminatif dalam hal beberapa hal seperti hukum, norma, nilai-nilai, dan aturan-aturan tertentu

"Homophobia [...] can cause stress, worry and derpression. It harms our physical and mental health. It can affect how some of us value ourselves and our future. We might try to cope with the pressure through drink, drugs, smoking or sex5"

Seorang homoseksual berkata: "Homophobia dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Hal ini merusak / mengganggu kesehatan fisik dan mental kita. Dan dapat mempengaruhi bagaimana kita menilai diri sendiri dan masa depan kita. Kita mungkin akan mencoba mengatasi tekanan tersebut dengan minum-minum, menggunakan narkoba, merokok atau seks5"

* Terlibat dalam melakukan hubungan seksual (hubungan intim) homoseksual.
In an interview with Zenit News, Dr. Richard Fitzgibbons, a child and adult psychiatrist in practice for more than 27 years, said, "Compared to controls who had no homosexual experience in the 12 months prior to the interviews, males who had any homosexual contact within that time period were much more likely to experience major depression, bipolar disorder, panic disorder, agoraphobia and obsessive compulsive disorder. Females with any homosexual contact within the previous 12 months were more often diagnosed with major depression, social phobia or alcohol dependence."4

Dalam sebuah wawancara dengan Zenith News, Dr. Richard Fitzgibbons, seorang psikiater anak kecil dan dewasa yang sudah berpraktek lebih dari 27 tahun mengatakan: "Dibandingkan dengan sampel kontrol yang tidak pernah mengalami pengalaman homoseksual dalam jangka waktu 12 bulan sebelum interview, pria yang pernah mempunyai pengalaman kontak / hubungan homoseksual apapun dalam periode tersebut lebih mungkin merasakan depresi berat, bipolar disorder, panic disorder, agoraphobia, dan OCD. Wanita dengan pengalaman kontak / hubungan homoseksual dalam jangka waktu 12 bulan terakhir lebih sering di diagnosa mengalami depresi berat, phobia sosial atau ketergantungan alkohol." 4

He concluded by saying, "Men and women with a history of homosexual contact had a higher prevalence of nearly all psychiatric disorders measured in the study. These findings are the result of a lifestyle marked by rampant promiscuity and an inability to make commitments, combined with unresolved sadness, profound insecurity, anger and mistrust from childhood and adolescence."4

Dia menyimpulkan dengan berkata, "Pria dan wanita dengan sejarah hubungan homoseksual lebih sering mengalami hampir semua gangguan psikiatri yang diukur dalam penelitian tersebut. Penemuan ini adalah hasil dari gaya hidup yang ditandai oleh kebiasaan melakukan hubungan seks yang sembarangan dan ketidakmampuan untuk melakukan komitmen, dikombinasikan dengan kesedihan, perasaan tidak aman yang amat sangat, amarah dan masalah ketidakpercayaan semenjak masa kecil dan remaja yang belum terselesaikan." 4

Persepsi dan sikap seorang homoseksual terhadap hubungan seksual yang dilakukan memiliki konsekuensi terhadap kesehatan mental dan emosionalnya. Ketika ia menaruh persepsi dan sikap negatif terhadap hubungan seksual yang dilakukannya maka perasaan-perasaan tidak menyenangkan akan hadir dalam dirinya dan mengganggunya.

Persepsi dan sikap negatif ini bisa berwujud guilt (perasaan bersalah), fear (ketakutan), shame (rasa malu) karena keyakinan bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tersebut tidaklah baik, keyakinan bahwa hubungan seksual yang dilakukannya bukanlah atas kehendak bebasnya sendiri, keyakinan bahwa hubungan seksual yang dilakukannya tidak membawanya pada apapun, tidak memberikan sesuatu yang berarti, atau tidak akan ada ujungnya, menjadikan hubungan seksual sebagai sebuah pelarian atau pelampiasan atas emosi-emosi negatif yang dirasakannya, dsbnya. Akibatnya, setiap habis mengecap kenikmatan sesaat, dirinya malah terluka oleh rasa tidak berguna, rasa kesepian yang dalam, kehampaan, rasa bersalah, rasa berdosa, dsb.

Akhirnya terbentuk mata rantai yang patologis (tidak sehat), melakukan hubungan seksual kemudian merasa terluka, akhirnya menyakiti diri sendiri lantas mencari pleasure / hal-hal yang dapat menyenangkan dirinya (mengobati dari rasa sakit) dengan melakukan hubungan seksual lagi dan kemudian berulang lagi dan demikianlah seterusnya.

Menurut Sanderson (www.lesbianinformationservice.org 1995), dampak-dampak dari staying in the closet / coming out bagi homoseksual khususnya wanita lesbian, adalah7:

a. Penghindaran intimasi khususnya dari orang-orang terdekat, serta menempatkan ketegangan dalam hubungannya dengan pasangan. Sebaliknya semakin terbuka individu tentang orientasi seksualnya, maka semakin sempurna individu tersebut dan menjadi lebih sehat, baik secara fisik maupun emosional.

b. Menyebabkan depresi, ketergantungan terhadap alkohol, drug abuse, bunuh diri dan perilaku lain yang menyakiti diri sendiri.

Coming out adalah proses dari penemuan atau penerimaan diri sendiri dan pemberitahuan tentang orientasi lesbian atau gay (homoseksual) seorang individu kepada orang lain7.


b. Resiko sehubungan dengan kesehatan fisik / biologis

Perilaku seksual tertentu dapat beresiko mengganggu kesehatan fisik / biologis pada kaum homoseksual. Seperti: melakukan hubungan seksual bebas / berganti-ganti pasangan bahkan dengan orang yang tidak dikenal; melakukan hubungan seksual yang tidak aman seperti: tidak menggunakan kondom dan tidak mengetahui diagnosa / status kesehatan seksual (HIV-AIDS, penyakit kelamin) pasangan main; dan melakukan anal sex adalah perilaku-perilaku seksual yang beresiko besar mengganggu kesehatan fisik / biologis kaum homoseksual.

Dr. Xiridou was studying the spread of HIV among homosexuals in The Netherlands and found that HIV was spread more rapidly among homosexual couples who considered themselves to be in "steady" relationships. These couples failed to engage in "safe sex" and were involved in 6-10 additional sexual encounters outside of the primary relationship each year. Those who considered their sexual relationships "casual" engaged in 16-28 sexual encounters outside of the primary relationship each year. (AIDS,17:1029-1038, 2003)3

Dr. Xiridou melakukan penelitian mengenai penyebaran HIV di antara homoseksual di Belanda dan menemukan bahwa penyebaran HIV lebih cepat diantara pasangan homoseksual yang menganggap mereka menjalani "steady" relationship / hubungan yang "tetap". Pasangan-pasangan ini gagal untuk melibatkan diri dalam perilaku seks yang aman / "safe sex" dan terlibat dalam 6-10 hubungan seksual tambahan diluar dari hubungan dengan pasangan utama mereka setiap tahunnya. Sementara mereka yang menganggap hubungan seksual mereka adalah "casual" terlibat dalam 16-28 hubungan seksual diluar dari dari hubungan dengan pasangan utama mereka setiap tahunnya. (AIDS,17:1029-1038, 2003)3

British health officials in 2004 also expressed concern about homosexuals who use the internet to locate sex orgies, where HIV-infected and non-infected homosexuals engage in unprotected sex3.

Pejabat kesehatan British, UK pada tahun 2004 juga menyatakan keprihatinannya terhadap para homoseksual yang menggunakan Internet untuk mencari pesta seks, dimana para homoseksual yang terjangkit HIV dan yang tidak bersama-sama ikut terlibat dalam melakukan hubungan seks tanpa pengaman3.

"An epidemiological study" from Vancouver, Canada of data tabulated between 1987 and 1992 for AIDS-related deaths reveals that male homosexual or bisexual practitioners lost up to 20 years of life expectancy. The study concluded that if 3 percent of the population studied were gay or bisexual, the probability of a 20-year-old gay or bisexual man living to 65 years was only 32 percent, compared to 78 percent for men in general. The damaging effects of cigarette smoking pale in comparison-cigarette smokers lose on average about 13.5 years of life expectancy3.

"Sebuah penelitan epidemiologi" dari Vancouver, Canada mentabulasikan data antara tahun 1987 dan 1992 terkait kematian yang disebabkan oleh AIDS dan menemukan bahwa pria homoseksual atau biseksual kehilangan waktu hidup hingga 20 tahun dari perkiraan usia hidupnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jika 3% dari populasi yang diteliti adalah gay atau biseksual, maka probabilitas / peluang dari seorang pria gay atau biseksual yang berumur 20 tahun untuk dapat hidup sampai dengan usia 65 tahun adalah 32%, dibandingkan dengan 78% pada pria lainnya secara umum. Dampak buruk / merusak dari merokok jika diperbandingkan - perokok kehilangan waktu hidup rata-rata sekitar 13.5 tahun dari perkiran usia hidupnya3.

Resiko-resiko gangguan kesehatan yang dapat dialami dari perilaku seksual tidak sehat tersebut adalah sebagai berikut:

* HIV-AIDS
A 1997 New York Times article reported that a young male homosexual has about a 50 percent chance of getting HIV by middle age. (Sheryl Gay Stolberg, "Gay Culture Weighs Sense and Sexuality," New York Times (Late edition, east coast), November 23, 1997, section 4, p.1)4

Pada tahun 1197, koran New York Times memuat artikel yang berisi bahwa seorang pria homoseksual mempunyai peluang 50% untuk terjangkit HIV pada usia pertengahan. (Sheryl Gay Stolberg, "Gay Culture Weighs Sense and Sexuality," New York Times (Late edition, east coast), November 23, 1997, section 4, p.1)4

As of 1998, 54 percent of all AIDS cases in America were homosexual men and according to the Center for Disease Control (CDC) nearly 90 percent of these men acquired HIV through sexual activity with other men. (Centers for Disease Control and Prevention, 1998, June, HIV/AIDS Surveillance Report 10 (1)4).

Pada tahun 1998, 54% dari semua kasus AIDS di Amerika Serikat adalah pria homoseksual dan menurut Center for Disease Control (CDC), 90% dari pria ini terjangkit HIV melalui akitivitas seks bersama pria lain. (Centers for Disease Control and Prevention, 1998, June, HIV/AIDS Surveillance Report 10 (1)4).

Even more alarming, the Center for Disease Control & Prevention reported in 1998 that an estimated half of all new HIV infections in the United States are among people under 25. Among 13-to 24-year-olds, 52 percent of all AIDS cases reported among males in 1997 were among young men who have sex with men. (CDC Fact Sheet: "Young People at Risk," Center for Disease Control & Prevention, National Center for HIV, STD and TB Prevention Division of HIV/AIDS Prevention, July 24, 19984)

Bahkan yang lebih mencengangkan, CDC melaporkan pada tahun 1998 sekitar setengah dari seluruh kasus infeksi HIV terbaru di AS terjadi diantara orang-orang berusia dibawah 25 tahun. Diantara orang -orang berusia 13-24 tahun ini, 52% dari seluruh kasus AIDS pria yang tercatat pada tahun 1997 merupakan pria muda yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria. (CDC Fact Sheet: "Young People at Risk," Center for Disease Control & Prevention, National Center for HIV, STD and TB Prevention Division of HIV/AIDS Prevention, July 24, 19984)

In November, 2003, the CDC stated that HIV infection rates had risen in 29 states. There are an estimated 40,000 new HIV infections yearly with 70% of these being among men. Of those men who are infected, 60% are infected through homosexual sex; 25% through IV drug abuse; and 15% through heterosexual sex3.

Pada bulan November 2003, CDC mengatakan bahwa trend infeksi HIV naik di 29 negara bagian. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat 40.000 orang pengidap HIV baru, dan 70% diantaranya adalah pria. Dari pria yang terjangkit ini, 60% diantaranya terinfeksi melalui hubungan homoseksual, 25% melalui narkoba, dan 15% melalui hubungan heteroseksual3.

In April, 2005, the CDC released results of a study of 5,600 gay and bisexual men on their sex habits and attitudes about being tested for HIV. Ten percent of those surveyed were HIV positive. The CDC discovered that among those who were HIV positive, 77% were unaware that they were infected and 50% had engaged in unprotected sex during the previous six months3.

Pada April 2005, CDC mengeluarkan hasil penelitian terhadap 5.600 pria gay dan biseksual mengenai kebiasaan seks dan sikap mereka sewaktu dilakukan tes HIV. 10% dari orang yang disurvey terjangkit HIV positif. CDC menemukan bahwa di antara mereka yang terjangkit HIV positif, 77% tidak mengetahui bawah mereka terinfeksi dan 50% terlibat dalam hubungan seks tanpa pengaman dalam waktu 6 bulan terakhir3.

Sementara menurut data WHO, di Asia jumlah penderita HIV meningkat lebih dari 150%. Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan epidemik HIV tercepat. Menurut data KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), di Indonesia sampai dengan 30 September 2007 jumlah kasus AIDS secara kumulatif yang dilaporkan mencapai : 10384 kasus. Pencapaian ini diperoleh berdasarkan laporan dari 32 provinsi atau 186 kabupaten / kota . Cara penularan kasus AIDS kumulatif dilaporkan melalui: IDU (Injecting Drug User) 49,5%, Heteroseksual 42%, dan Homoseksual 4%6.

Jika dilihat dari data ini, seakan kasus AIDS melalui hubungan homoseksual terbilang sangat minim. Namun data berikutnya akan menyebutkan adanya kerentanan homoseksual terhadap IDU (49%). Oleh karena itu sepatutnya kaum homoseksual tetap peka dan peduli dalam menyikapi adanya fenomena 4% (+/- 415 orang) dari kaum homoseksual yang terkena HIV –AIDS. Penjelasan mengenai hubungan antara Homoseksual dengan kerentanan terhadap IDU akan dijelaskan setelah ini.

* Anal Cancer
According to J. R. Daling et.al, "Correlates of Homosexual Behavior and the Incidence of Anal Cancer," Journal of the American Medical Association 247, no.14, 9 April 1982, pp. 1988-90, the risk of anal cancer soars by 4000 percent among those who engage in anal intercourse4.

Menurut J.R. Daling et.al, "Correlates of Homosexual Behavior and the Incidence of Anal Cancer," Journal of the American Medical Association 247, no.14, 9 April 1982, pp. 1988-90, resiko kanker anal (dubur) melesat hingga 4000% diantara mereka yang terlibat dalam berhubungan seks menggunakan lubang anal (dubur) 4.

In 2004, health officials in King County, Washington, reported a dramatic rise in cases of anal cancer as a result of homosexual sex3.

Pada tahun 2004, pejabat kesehatan di King County, Washington, melaporkan adanya kenaikan drastis pada kasus-kasus kanker anal akibat hubungan seks homoseksual3.

* STI's / STD's lainnya, seperti: chlamydia trachomatis, cryptosporidium, giardia lamblia, herpes simplex virus, human papilloma virus (HPV) or genital warts, isospora belli, microsporidia, gonorrhea, viral hepatitis types B & C and syphilis4.

While 'always' condom use reduces the risk of contracting HIV by about 85%, Condoms, even when used 100% of the time, fail to give adequate levels of protection against many non-HIV STDs such as Syphilis, Gonorrhoea, Chlamydia, Herpes, Genital Warts and others. The only safe sex is, apart from abstinence, mutual monogamy with an uninfected partner. (Sex, Condoms, and STDs: What We Now Know. Medical Institute for Sexual Health. 2002)1.

Sementara penggunaan kondom dapat mengurangi resiko terjangkit HIV sebesar 85%, di sisi lain bahkan jika kondom digunakan 100% sepanjang waktu, kondom tetap gagal memberikan tingkat perlindungan yang adekuat dari banyak STD’s lain di luar HIV seperti Syphilis, Gonorrhoea, Chlamydia, Herpes, Genital Warts dan lainnya. Satu-satunya seks yang aman, selain dengan menahan diri (nafsu /hasrat), adalah dengan melakukan monogami mutual dengan pasangan yang tidak terinfeksi. (Sex, Condoms, and STD's: What We Now Know. Medical Institute for Sexual Health. 2002)1.


c. Resiko yang sehubungan dengan kedua-keduanya (kesehatan mental & emosional dan kesehatan fisik / biologis)

Perilaku dibawah ini menyangkut resiko rusaknya kondisi fisik, terganggunya kesehatan fisik / biologis serta terganggunya kondisi mental & emosional seorang homoseksual. Kedua faktor ini saling terhubung / berkorelasi satu sama lain.

* Domestic Violence / Sex - Physical - Emotional Abuse
Hubungan di antara sesama homoseksual seringkali diwarnai dengan kekerasan baik itu kekerasan seksual, fisik, maupun emosional. Motif dibaliknya seringkali dikarenakan masalah / gangguan mental dan emosional pada diri si pelaku homoseksual.

A recent study published in the American Journal of Public Health has shown that 39 percent of males with same-sex attraction have been abused by other homosexual men4.

Sebuah penelitian terbaru akhir-akhir ini yang diterbitkan dalam American Journal of Public Health menemukan bahwa 39% pria yang tertarik dengan sesama jenis pernah mengalami kekerasan / penganiayaan oleh pria homoseksual lainnya4.

In 2003, the National Coalition of Anti-Violence Programs issued a study on the high rate of domestic violence among homosexual couples. The group tracked violent incidents among gay couples from 2002 and found 5,000 cases, including four murders. The statistics gathered are thought to be only a fraction of the total number of violent incidents3.

Pada tahun 2003, National Coalition of Anti-Violence Programs (Program koalisi nasional anti kekerasan) mengeluarkan sebuah penelitian mengenai tingginya kasus KDRT diantara pasangan homoseksual. Penelitian ini mencatat kekerasan yang terjadi diantara pasangan gay semenjak tahun 2002 dan menemukan adanya 5000 kasus termasuk 4 pembunuhun. Data statistik yang terkumpul ini baru sebuah bagian kecil yang terkumpul dari aksi kekerasan yang ada3.

A study by Susan Turrell entitled "A descriptive analysis of Same-Sex Relationship Violence for a Diverse Sample," and published in the Journal of Family Violence (vol 13, pp 281-293), found that relationship violence was a significant problem for homosexuals. Forty-four percent of gay men reported having experienced violence in their relationship; 13 percent reported sexual violence and 83 percent reported emotional abuse. Levels of abuse ran even higher among lesbians with 55 percent reporting physical violence, 14 percent reporting sexual abuse and 84 percent reporting emotional abuse4.

Sebuah penelitian oleh Susan Turrell berjudul "A descriptive analysis of Same-Sex Relationship Violence for a Diverse Sample" dan diterbitkan dalam Journal of Family Violence (vol 13, pp 281-293), menemukan bahwa kekerasan dalam hubungan merupakan masalah yang signifikan pada homoseksual. 44% pria gay melaporkan bahwa mereka pernah merasakan kekerasan dalam hubungan mereka; 13% melaporkan kekerasan seksual dan 83% melaporkan penganiayaan / penderaan emosional. Tingkat kekerasan lebih tinggi terjadi pada para lesbian dengan 55% melaporkan kekerasan fisik, 14% melaporkan kekerasan seksual dan 84% melaporkan penderaan emosional 4.

According to a summary of this study by Knight-Ridder, studies have estimated that domestic violence among gay males ranges from 12% to 36%, which is roughly the same as for heterosexual women. In the coalition study, 34% had experienced psychological/symbolic battering; 22% had experienced physical battering, and 5% sexual battering3.

Menurut sebuah rangkuman yang dibuat oleh Knight-Ridder, penelitian memperkirakan bahwa kekerasan domestik / KDRT yang terjadi diantara pria gay berkisar dari 12% hingga 36%, dimana hampir sama dengan wanita homoseksual. Di dalam penelitian koalisi, 34% pernah mengalami kekerasan psikologis / simbolik; 22% pernah mengalami kekerasan fisik, dan 5% kekerasan seksual3.

In a separate study published in The Journal of Men's Studies, (March 22, 2003), researchers noted that a survey of gay domestic violence in 2000 revealed that of 52 respondents, 79% had experienced pushing, shoving, or grabbing; 77% had experienced restraining or the blocking of an exit by a partner; 64% had experienced punching, hitting, or striking with hands or fists; 54% had been slapped3.

Dalam penelitian terpisah yang diterbitkan dalam The Journal of Men's Studies (22 Maret, 2003), par peneliti mencatat bahwa sebuah survey tahun 2000 mengenai KDRTpada gay menemukan dari 52 responden, 79% pernah mengalami didorong, dijoroki ataupun ditarik; 77% pernah mengalami dihalang-halangi atau dilarang keluar oleh pasangannya; 64% pernah mengalami pemukulan dengan tangan atau kepalan tinju; 54% pernah ditampar3.

A 1998 study revealed that of those surveyed, 62% had been threatened with a weapon and 85% had experienced significant property or financial loss from an angry partner. In addition, 39% had been forced to have sex against their will by a homosexual partner3.

Sebuah penelitian pada tahun 1998 menemukan bahwa dari orang-orang yang disurvei, 62% pernah diancam dengan menggunakan sejata dan 85% pernah mengalami kehilangan atau kerusakan barang atau uang karena / yang dilakukan oleh pasangan yang marah. Sebagai tambahan, 39% pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual oleh pasangan homoseksualnya tanpa kehendak / persetujuan dari dirinya3.

* Substance Abuse / Penyalahgunaan NAPZA ( Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) / Narkoba
Kondisi mental dan emosional yang bermasalah; serta lifestyle / gaya hidup kaum homoseksual dapat mempengaruhi seseorang untuk menggunakan narkoba dan minum minuman keras. Penyalahgunaan zat-zat aditif ini meliputi narkoba (ectasy, putauw / heroin, ganja, morfin, kokain / shabu-shabu, cannabis), dan minuman keras. Penyalahgunaan zat demikian dapat mempengaruhi kesehatan tubuh seperti (gangguan otak, syaraf, hati, dsb.), juga dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional (menjadi lebih emosional, lebih numb / tidak merasakan apapun, paranoid, delusi, halusinasi, dsb.).

Penyalahgunaan narkoba dan minum-minuman keras membuat seseorang berada dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, dan dalam keadaan demikian orang tersebut tidak dapat mengkontrol / mengendalikan dirinya sendiri. Pada saat demikian, banyak sekali resiko yang harus siap dihadapi.

Studies from around the globe all point to continued high rates of substance abuse among homosexuals. A report published in the Atlanta Journal-Constitution (April 18, 2004), indicated that there’s a growing trend among young homosexual males to use Crystal Meth to prolong sexual activities during sex orgies. Those using Crystal were three times as likely to be HIV infected3.

Penelitian dari seluruh dunia menunjukkan adanya pemakaian narkoba yang cukup tinggi diantara pasangan homoseksual. Sebuah laporan yang diterbitkan dalam The Atlanta Journal-Constitutuion (18 April, 2004), mengindikasikan adanya peningkatan trend diantara pria muda homoseksual, dimana mereka menggunakan ekstasi untuk mempertahankan aktivitas seksual selama pesta seks berlangsung. Mereka yang menggunakan ekstasi tiga kali lebih mungkin terjangkit HIV3.

Health officials in Seattle reported in 2001 that drug use among homosexuals was on the rise as a way of increasing sexual pleasure. Drug use is related to unprotected and anonymous sex among homosexual males. The Midwest AIDS Prevention Project published the following statistics on substance abuse among homosexuals in 20043:
Nearly 10% of gay and bisexual men responding to a Michigan Department of Community Health survey reported that they had engaged in unprotected sex when they were high or drunk. Among gay male teenagers, 68% reported alcohol use; 44% reported drug use; among lesbians: 83% had used alcohol; 56% had used drugs.

Pejabat kesehatan di Seattle melaporkan pada tahun 2001 penggunaan narkoba diantara pasangan homoseksual menunjukkan trend yang meningkat, Mereka menggunakan narkoba sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kepuasan seksual. Penggunaan narkoba berhubungan dengan melakukan hubungan seksual tanpa pengaman dan melakukan hubungan seks dengan pria-pria homoseksual yang tidak dikenal. The Midwest AIDS Prevention Project menerbitkan statistik berikut tentang penggunaan narkoba diantar kaum homoseksual pada tahun 20043:
Hampir 10% dari pria gay dan biseksual yang ikut serta dalam survey yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan Masyarakat kota Michigan ini melaporkan bahwa mereka pernah melakukan hubungan seks tanpa pengaman selagi mereka mabuk atau high. Diantara pria gay remaja, 68% minum-minuman keras, 44% menggunakan narkoba; sedangkan diantara lesbian: 83% mengkonsumsi alkohol; 56% menggunakan narkoba.

In a 1992 survey of San Francisco lesbian and bisexual women, 30% had used drugs other than alcohol; one in seven women had experienced violence when drunk or high; and 29% reported sexual abuse3.

Pada tahun 1992 sebuah survey mengenai wanita lesbian dan biseksual di Fransisco menyebutkan bahwa 30% diantaranya pernah menggunakan narkoba selain alkohol; 1 dari 7 wanita pernah mengalami kekerasan ketika sedang mabuk atau high; dan 29% melaporkan mengalami kekerasan seksual3.

According to this article, "Data consistently show that drug use—particularly intravenous drug use—is associated with about a 40% increased risk of HIV infection." (Sharon Worcester, "Drug abuse in gay men linked to other issues: depression, partner abuse, and childhood sexual abuse are often intertwined with drug abuse," (Family Practice News, March 1, 2005. 3)

Menurut artikel ini, "Secara konsisten data menunjukkan bahwa penggunaan narkoba - terutama yang masuk ke dalam pembuluh darah - berhubungan dengan meningkatnya resiko terinfeksi HIV sebesar 40%." (Sharon Worcester, "Drug abuse in gay men linked to other issues: depression, partner abuse, and childhood sexual abuse are often intertwined with drug abuse," (Family Practice News, March 1, 2005. 3)

Demikianlah gambaran keseluruhan mengenai resiko-resiko yang rentan dihadapi kaum homoseksual. Gambaran ini diperoleh berdasarkan hasil riset ilmiah dan obyektif. Bertujuan untuk menghadirkan pengetahuan, akan berbagai hal yang harus dan sebaiknya di ketahui oleh setiap orang, baik itu kaum homoseksual maupun heteroseksual, Kita semua diharapkan menjadi lebih peka dan waspada terhadap resiko dan ancaman yang bisa merusak / merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Dengan pengetahuan ini, setiap orang, termasuk kaum homoseksual dapat mengambil sikap dan pilihan yang tepat. Bukan hanya sekedar mengetahui resikonya, namun juga tahu apa konsekuensinya dan dengan demikian dapat lebih mempersiapkan diri. Bertanggung jawab atas setiap pilihan dan tindakan yang dilakukan, serta melakukan tindakan pencegahan jika diperlukan. Agar pilihan sikap, tindakan, dan keputusan yang dibuat tidak menimbulkan kerugian baik bagi dirinya maupun orang lain.

Sementara bagi kaum heteroseksual, pengetahuan ini bertujuan bukan hanya untuk memberi ilmu dan informasi, tapi sekaligus juga menjadi bekal untuk membantu kaum homoseksual dalam menyikapi persoalan yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa - mental yang lebih sehat.

Tulisan berikutnya akan membahas bagaimana individu menyikapi homoseksualitas pada dirinya, bagaimana menghadapinya, serta bahasan lain seputar mekanisme konstruktif yang bisa di lakukan.

<<>>


Daftar Pustaka
1 John Shea, M.D., John Wilson, M.D. et.al. (February, 2005) "Gay marriage' and homosexuality: some medical comments." Lifesite. This data retrieved from http://www.catholiceducation.org/articles/homosexuality/ho0095.html

2 Gilbert, Kathleen. (September 17, 2008). "Study: Homosexual Lifestyle Strongly Linked to Depression, Suicide." This data retrieved from http://www.lifesitenews.com/ldn/2008/sep/08091704.html

3 Traditional Values Coalition Education and Legal Institute / 139 C Street SE / Washington, DC 20003 / 202-547-8570 /. (May, 2005). "Statistics on Homosexual Lifestyle." This data retrieved from http://www.lifesitenews.com/ldn/2008/sep/08091704.html

4 Brinkmann, Susan. (May-June, 2004). "Health Risks of The Homosexual Lifestyle." Catholic Standard & Times. This data retrieved from http://www.catholiceducation.org/articles/homosexuality/ho0088.html

5 Keogh, Peter. (2001). "How to be a Healthy Homosexual: A Study of CHAPS HIV Health Promotion With Gay Men." This data retrieved from http://www.sigmaresearch.org.uk/files/report2001b.pdf

6 Koalisi untuk Indonesia Sehat. "Data HIV AIDS di Indonesia." Data retrieved March 05, 2009 from http://www.koalisi.org/dokumen/dokumen7681.pdf

7 Cynthia, Trida. (2005). "Gambaran Kebutuhan Afeksi (Need of Affection) dan Proses Coming Out Pada Wanita Lesbian." This data retrieved from http://repository.gunadarma.ac.id:8000/Kommit2004_psikologi_007_1815.pdf

Artikel Terkait



0 komentar:

geo fles