Seperti Masuk Surga Di kisah-kisah keagamaan sering kita dengar cerita mengenai betapa misteriusnya jalan seseorang menuju surga atau neraka itu. Misalnya diceritakan seorang yang sangat nakal pada waktu mudanya, tetapi kemudian punya komitmen untuk bertobat. Belum juga menjalankan tobatnya, namun ajal sudah menjemputnya. Setelah dikalkulasi, ternyata hatinya sudah lebih condong pada pertobatan. Masuklah ia ke surga dengan komitmen itu. Begitu juga jalan ke neraka. Misalnya dikisahkan ada orang yang sangat taat beribadah. Saking seriusnya beribadah, sampai-sampai ibunya yang janda dan sudah tua tak didengar panggilannya. Setiap kali ibunya memanggil, lelaki ini sedang konsentrai ibadah. Berkali-kali memanggil namun tak dijawab, kesallah sang ibu. Ibunya ini kemudian menyebut si anak sebagai anak durhaka. Masuklah lelaki itu ke neraka atas kedurhakaannya. Dan masih banyak cerita lain yang serupa. Cerita-cerita itu hampir seluruhnya tak bisa diverifikasi kapan terjadinya dan dilakukan oleh siapa. Umumnya, cerita itu dikisahkan untuk diambil pelajarannya. Apa pelajarannya? Pelajarannya adalah, jalan ke surga itu memang hanya bisa ditempuh dengan berbuat baik, tetapi jangan sampai kita terlalu sombong dengan kebaikan kita, sebab kebaikan kita itu masih belum cukup untuk masuk surga. Modal untuk masuk surga adalah kebajikan kita dan kebaikan Tuhan (rahmat) atau faktor X. Ini supaya tidak sombong dan tidak pula terlalu mengandalkan kebaikan Tuhan. Kalau saya mengingat ungkapan orangtua remaja mengenai masa depan anaknya, cerita di atas sangat pas dijadikan pelajaran. Dengan semakin dahsyatnya ancaman narkoba dan narkotika yang mengincar remaja, maka orangtua manapun tak boleh sombong atau terlalu pede akan keselamatan anaknya sehingga cenderung mengabaikan. Atau juga terlalu pesimis sehingga mengandalkan kebaikan Tuhan. Data Depkes (2003) menyebutkan, 70% pengguna narkoba adalah remaja yang duduk di SMP, SMA, dan PT. Kalau melihat laporan beberapa rumah sakit dan lembaga psikiater, sebab-sebab yang menjerumuskan remaja ke lembah hitam itupun sebagian besarnya di luar kontrol orangtua. Laporan menyebutkan, sebab-sebab itu antara lain: rasa ingin tahu, ajakan teman, pelarian masalah, ketidak-harmonisan keluarga, dan kuatnya jaringan pemasaran narkoba (www.cnoa.org). Meski tak boleh terlalu pede, tapi kita perlu sadar bahwa jalan menuju keselamatan adalah memberikan bekal sebaik mungkin melalui pengasuhan. Atau dengan kata lain, kita tidak boleh terlalu optimis atau terlalu pesimis yang berujung pada praktek kurang memperhatikan. Yang perlu digalakkan adalah optimisme membumi dimana kita menggunakan harapan itu untuk mengambil tindakan pencegahan dan penyelamatan dengan tetap meminta pertolongan kepada Tuhan. Psikologi Remaja Sejumlah pakar psikologi menyebutkan, karakteristik psikologis remaja itu antara lain pencarian identitas dan pencarian peranan. Atau, mereka ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan yang selalu muncul mengenai, siapa aku ini sebenarnya, peranan apa yang pas untuk diriku, apa kelebihanku, siapa pendampingku untuk membesarkan anak-anak nanti, dan lain-lain. Remaja yang bernasib baik, dalam arti mendapatkan bantuan yang memadai dari orangtua, entah dalam bentuk pendampingan mengungkap kelebihan, memberikan lingkungan yang mendukung, menegaskan peranan dengan pelibatan keputusan atau membekali nilai-nilai yang mengokohkan jiwanya, akan berpeluang lebih cepat menemukan identitas dan peranan. Itulah sering kita temukan remaja yang tumbuh dari keluarga kurang berada, tapi sudah diberi penyadaran mengenai peranannya yang harus membantu orangtua atau menyekolahkan adik-adiknya, biasanya lebih cepat punya kesadaran peranan. Atau juga remaja dari kalangan berada yang sudah mendapatkan transformasi ideologi atau visi hidup dari orangtuanya. Menancapnya identitas-diri sangat membantu mereka melawan ancaman dan godaan. Tapi memang dalam prakteknya pasti itu tidak mudah. Niat baik orangtua belum tentu dipersepsikan baik oleh mereka atau juga tidak semua orangtua mampu memahami ke-belum-stabilan mental, emosi, dan moralnya. Sehingga yang muncul adalah penghakiman, pertentangan, dan konflik. Itulah kenapa Erikson, seperti dikutip James W.Vander Zanden (1989), berkesimpulan, semua remaja rentan terhadap bahaya yang terkait dengan konsistensi moralnya, keharmonisan sosialnya atau kerapuhan identitasnya. Biasanya, untuk remaja laki-laki, mereka mengekspresikan kebingungannya dalam bentuk perlawanan ke luar (outward rebellion), misalnya melawan orangtua, sekolah, atau lingkungan. Sedangkan untuk remaja perempuan lebih mengarahkan perlawanan ke dalam (inward), misalnya memendam depresi, menyendiri, atau acuh-tak-acuh. Karakteristik lain adalah adanya paradok dimana mereka mempersepsikan diri sebagai jagoan (The Super Me) dan ingin dianggap seperti itu, tetapi karena kerapuhan identitasnya, mereka juga menampilkan apa yang disebut ”Extreme agree-disagree”, gampang ikut-ikutan atau gampang musuh-musuhan, termasuk terhadap orangtua. Sekitar tahun 1999-an, saya mendapatkan tugas mendampingi remaja yang ayahnya sangat saya kagumi prestasinya. Lama-lama remaja ini tahu kalau saya adalah orang suruhan ayahnya. Kepada saya, dia bilang bahwa peperangan ini berawal ketika dia periksa handphone ayahnya yang tidak menyimpan namanya. Sementara, dia lihat di situ ada nomor dua kakaknya yang perempuan. Ceritanya, dia tersinggung berat atas kekhilafan ayahnya itu. Pengasuhan Versus Hiburan Kalau melihat bagaimana karakter dan kepribadian manusia itu terbentuk, ternyata yang paling dominan dibutuhkan remaja adalah pengasuhan, dalam arti ”human touch”. Khusus untuk remaja sampai pemuda (SMP-PT), bentuk pengasuhan yang paling mempengaruhi adalah: Ini berbeda ketika manusia itu masih bayi / anak-anak. Khusus untuk usia ini, manusia lebih mendominankan kedekatan dengan sang ibu, gizi, atau contoh dari orangtua. Tapi tidak berarti remaja sudah tidak membutuhkan itu semua. Gizi, kedekatan, atau contoh itu tetap dibutuhkan. Hanya saja, jangan sampai kita terus berkutat memperhatikan gizi dan hiburannya, sementara kita meluputkan perhatian pada suasana rumah tangga, figur, atau pemahaman nilai. Terbukti, data polling mengungkap, kebanyakan orangtua saat berbicara dengan remajanya hanya mengangkat persoalan sepele, seperti cek-cok dia dengan saudara kandungnya, menu makanan, kebersihan kamar, atau yang semisalnya. Sementara, topik-topik krusial jarang dikemukakan, seperti bahaya seks bebas, narkoba, atau yang semisalnya. Kenapa? Ini juga terkait dengan sejauhmana kerentanan mereka terhadap ancaman narkoba. Sangat mungkin remaja menjadi semakin rentan jika suasana rumahnya dipenuhi konflik atau ketidakharmonisan. Untuk melepaskan beban pikiran akibat memikirkan hubungan orangtuanya, dia lari ke sana atau tertangkap basah oleh pengedar. Melakukan sidak ke kamar mereka untuk mengetahui siapa yang diidolakan juga menjadi penting. Banyak orangtua yang memberi privasi berlebihan ke remaja sehingga tidak tahu figur idolanya dari kalangan mana. Sempat dia berkiblat pada kelompok yang sangat dekat dengan penyalahgunaan narkoba, bukan tidak mungkin dia akan mengembangkan imajinasi betapa indahnya narkoba itu. Pemahaman nilai-nilai juga penting. Berbagai temuan mengungkap kian banyaknya remaja yang depresi karena nilai yang diserap adalah tontonan televisi yang mengangkat kemewahan hidup, sementara kondisi riil orangtuanya berbeda 200 derajat. Mereka sudah hafal feature hape canggih, mobil mewah atau kafe mahal, sementara orangtuanya tak sanggup membiayai obsesi itu. Akibatnya stress, depresi, atau delusi mental. Apa yang Bisa Kita Lakukan? Tujuan kita membantu mereka adalah agar bisa membangun pertahanan secara mandiri, seperti yang sudah kita bahas di bagian 2, bukan supaya selalu bergantung kepada kita. Agar tujuan itu tercapai, tentu dibutuhkan beberapa hal yang sangat mungkin kita lakukan. Ini misalnya antara lain: Ada contoh baik dari para nabi soal ini. Para nabi itu meski sudah diangkat sebagai manusia pilihan, namun tetap berdoa untuk kebaikan anaknya di masa depan, tidak terlalu optimis atau tidak terlalu pesimis. Artinya, selain perlu menempuh cara-cara yang logis, perlu juga menemuh cara yang beyond logic, seperti mendoakan mereka, bersedekah, menghindarkan mereka dari harta yang haram, dan lain-lain. Agama mengingatkan, keringat itu menetes. Memandang Sebagai Aset Kondisi rumah tangga orangtua bisa berubah drastis suksesnya atau sebaliknya. Dilihat dari pengaruh, baik kesuksesan atau sebaliknya, sama-sama bisa menjadi pemicu keburukan bagi sebagian remaja, misalnya mendadak menjadi bos foya-foya atau berubah pergaulannya dan penampilannya atau mendadak menjadi frustasi, protes keadaan, protes Tuhan, dll, setelah melihat kondisi orangtuanya. Ketika masih sama-sama remaja, ayah dari seorang teman ingin menjagokan lurah dengan resiko butuh biaya dan menjual tanah, sekaligus juga ada peluang di sana. Teman saya yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini ternyata sangat lebih empatik ketika melihat ayahnya kalah dan sawahnya habis terjual. Tapi adiknya yang merasa tidak dilibatkan, lebih punya pandangan yang tidak bisa menerima realitas sampai kemudian muncul tanda-tanda frustasi. Nah, sebagai pelajaran, barangkali akan ada baiknya kalau kita mulai melihat remaja sebagai aset yang punya pengaruh aktif terhadap berbagai keputusan penting keluarga. Jangan sampai keteledoran atau pun kesibukan kita, membuat mereka merasa terabaikan, atau malah terkena getahnya saja. Di dalam proses waktu berjalan, bisa-bisa mereka punya penafsiran sendiri yang tidak sinkron dengan keluarga, apalagi dengan realita. Berabe ‘kan? Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar