Darimana Human Capital Management Dimulai
Pesantren Kesayangan ku
IQRO
Psikologi Organisasi Industri
HCM (Human Capital Management) adalah proses untuk menjadikan people sebagai kapital penting organisasi dengan tingkat yang lebih optimal dan lebih tajam jika dibanding dengan HRD (Human Resource Development) yang lebih dulu kita kenal. Kalau menyimpulkan wacana yang berkembang, cakupan HRD itu dinilai terlalu luas, dalam arti harus mengurusi kualitas dan kuantitas SDM dalam organisasi. Saking luasnya sehingga terkadang kiprahnya menyempit karena keterbatasan.
Misalnya, HRD hanya berperan di urusan SP, Gaji, atau Surat Lamaran. Selain itu, HRD juga sudah ditempatkan sebagai posisi atau divisi, dalam arti sebagai jabatan, misalnya ada HRD manajer atau direktur. Nah, kalau HCM, konsentrasinya adalah meningkatkan kualitas SDM melalui pengembangan talent dan kompetensi untuk ditajamkan hubungannya dengan pencapaian organisasi.
HCM mestinya bukan dijadikan sebagai jabatan atau posisi, tetapi idealnya adalah kesadaran strategis untuk semua orang yang menduduki level atasan, dari mulai staff senior sampai leader. Artinya, mau organisasi kita itu hanya 5 orang atau 50 orang, kesadaran untuk menerapkan strategi HCM ini tetap perlu dimunculkan, walaupun mungkin kita merasa belum perlu ada HRD-HRD-an.
Kenapa? Alasannya sangat sederhana. Secara alamiahnya, orang itu hanya akan menjadi kapital kalau dia mengembangkan dirinya (mengkapitalisaikan dirinya) atau disentuh oleh proses yang mengarahkan dia untuk menjadi kapital (internal dan eksternal). Kapital sendiri di sini pengertiannya adalah the storage of useful assets. Sangat sulit kita mengharapkan orang agar menjadi kapital jika inisiatifnya untuk mengembangkan diri lemah atau tidak disentuh oleh proses yang membuat mereka berkembang.
Sering ada pertanyaan begini, mana yang lebih dominan peranannya antara inisiatif seseorang untuk mengembangkan dirinya atau proses yang diinisiatifkan oleh organisasi? Soal peranan dominan itu, ini tidak bisa kita samaratakan. Ketika seseorang menjadi bagian dari organisasi atau sedang menjadi makhluk sosial, maka proses yang diinisiatifkan organisasi (faktor eksternal) menjadi lebih dominan. Baru ketika seseorang menjadi makhluk individual atau sedang merealisasikan tujuan pribadinya, maka peranan organisasi tidak lebih dominan dibanding peranan dirinya.
Fakta ini juga menambah alasan kenapa HCM itu menjadi perlu. Boleh-boleh saja kita lebih mengandalkan individu untuk mengembangkan dirinya sendiri-sendiri, tetapi konsekuensi yang tak boleh kita ingkari adalah mereka nanti kurang bekerja untuk tujuan organisasi, tetapi untuk tujuan pribadinya.
Lalu, darimana HCM sebaiknya dimulai?
Dimulai Dari Pandangan
Ketika hendak menerima seseorang sebagai pegawai, pandangan kita menjadi titik awal yang sangat menentukan. Pandangan akan menetukan bentuk perlakuan. Maksud pandangan di sini bukan pandangan mata, tentunya, tetapi pandangan dalam arti bagaimana kita mendefinisikan calon.Ketika kita mendefinisikan mereka sebagai pencari kerja yang patut dikasihani, kita berposisi tangan di atas dan mereka sebagai tangan di bawah, atau berbagai pandangan yang me-looking-down-kan mereka, akan sangat mungkin kita sulit memperlakukan mereka sebagai kapital penting untuk dikembangkan.
Tapi, coba kalau kita mendefinisikan mereka dari awal sebagai calon pemain sepak bola yang sudah punya talenta atau potensi untuk digali demi kehebatan klub kita? Pasti spirit batin kita akan beda. Spirit inilah yang membedakan. Spirit melahirkan sikap, sikap melahirkan tindakan, dan tindakan melahirkan hasil.
Untuk mengecek asumsi di atas, coba kita datangi sekolah yang melahirkan banyak pemimpin atau melahirkan perusahaan yang melahirkan banyak expert. Hampir bisa dipastikan kita akan menemukan spirit, suasana, dan perlakuannya (human touch-nya) yang memang berbeda. Mereka memandang people sebagai aset dari awal.
Memang, pandangan kita itu seringkali tak lepas dari fakta yang kita lihat. Kalau kita kedatangan orang yang kualifikasinya tidak ada yang nyambung sama sekali, agak sulit kita membangun pandangan yang mengasetkan mereka.
Untuk menghindari pandangan looking down yang berlebihan, kita bisa lari ke pijakan spiritual. Misalnya kita membangung kesimpulan bahwa mungkin Tuhan punya rencana khusus kenapa orang ini dikirim ke kita. Mungkin kebaikannya dan kekuatannya masih tersembunyi. Dan lain-lain.
Intinya, kita perlu membangun berbagai perspektif yang memposisitifkan spirit, sikap, dan perlakuan sehingga bisa mengarahkan mereka menjadi kapital. Jika pijakan spiritual itu kita khawatirkan berlebihan, yang berarti akan kurang baik, kita perlu melakukan assessment oleh lembaga profesional, mau yang berbasis psikologi atau manajemen.
Assessment akan memberi peta yang lebih akurat secara saintifik mengenai apa kelebihan, kekurangan, kemungkinan yang bisa dikembangkan, dan lain-lain sehingga pandangan kita lebih terbimbing.
Hanya memang yang perlu kita ingat adalah kita perlu menjadikan hasil assessment itu sebagai alat eksplorasi yang membuka berbagai kemungkinan, bukan alat penghakiman yang membatasi.
Diteruskan Dengan Pengelolaan
Dalam banyak hal, orang itu menjadi kapital atau tidak dalam organisasi, lebih sering karena dinamika atau gesekan yang terjadi di dalamnya. Ada yang garbage-in lalu menjadi golden-out. Tapi juga malah ada yang sebaliknya. Ini tergantung gesekan itu. Artinya, tidak berarti kalau kita sudah mendapatkan orang yang qualified lantas pasti menjadi kapital. Ini belum tentu. Jika pengelolaannya salah, lemah, atau buruk, bisa-bisa akan berbalik atau berubah.
Ini berlaku juga pada orang-orang yang kini kita miliki, maksudnya yang sudah bekerja lama di kita. Walau kita anggap mereka sebagai aset, tapi bisa saja menjadi ancaman jika pengelolaannya keliru, misalnya kita tempatkan di lokasi yang keliru atau kita perlakukan secara salah.
Karena itu, pengelolaan menjadi langkah penting dalam operasi HCM. Sokoguru pengelolaan secara garis besarnya bisa dikelompokkan menjadi tiga, seperti pada gambar di bawah, yaitu:
Pengembangan (people development) menjadi vital. Jika orang-orang tidak menerima pengembangan, kemungkinannya adalah ketinggalan dengan tuntutan atau menjadi beban seiring dengan pelapukan yang terjadi. Jika orang itu mengembangkan dirinya sendiri, hasilnya boleh jadi tidak sinkron dengan tujuan organisasi. Nah, pengembangan orang-orang itu sebetulnya tetap bisa kita lakukan. Soal bentuk, cara, dan sistemnya, ini bisa kita rancang suka-suka kita. Maksud saya, bisa kita sesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan, dan keadaan. Boleh dilakukan oleh orang dalam atau boleh juga dilakukan orang luar, seperti mengundang konsultan.
Supaya people menjadi capital, tentu tidak cukup dengan hanya dikembangkan. Harus ada proses yang disebut pengerahan (people deployment). Tentu, yang perlu dikerahkan adalah kapasitas atau kapital di dalam dirinya melalui tugas, target, atau tanggung jawab yang menantang. Dalam prakteknya, pengembangan dan pengerahan saja masih belum cukup. Yang tidak kalah pentingnya adalah penjagaan (people retainment). Tanpa penjagaan yang baik, akan ada kemungkinan untuk hengkang atau dibajak.
Soal teknik penjagaan itu, ini bisa kita susun secara ilmiyah dan bisa alamiyah, tergantung keadaan, kebutuhan, dan kemampuan. Misalnya, kita memberi imbalan berdasarkan kalkulasi yang klir (ilmiyah) atau memberikan perlakuan yang sangat kind dan human. Atau, menggabungkan keduanya.
Menggabungkan teknik penjagaan itu menjadi penting karena dalam banyak kasus imbalan material itu bukan satu-satunya penahan atau penjaga yang bisa diandalkan. Untuk kelompok orang dengan kualifikasi tertentu, kesempatan untuk berkembang malah sering dipahami sebagai cara menjaga yang baik.
Dilanjukan Lagi Dengan Koordinasi
Proses HCM tidak berhenti pada pandangan dan pengelolaan. Menajamkan hubungan melalui langkah-langkah koordinatif juga vital jika kaitannya adalah bagaimana supaya seluruh orang di dalam organisasi itu menjadi kapital bagi organisasi, bukan bagi individu. Bentuk riil koordinasi yang paling dibutuhkan adalah bagaimana menghubungkan seluruh proses yang kita lakukan itu menjadi core competency organisasi, dari mulai penerimaan sampai pengeloaan, yang sifatnya sangat dinamis. Atau kalau meminjam istilah yang dipakai oleh pakar dari SAP dan Accenture (White Paper: Human Capital Management: Managing and Maximizing People to Achieve High Performance: 2005), koordinasi di sini pengertiannya adalah bagaimana seluruh proses itu berakibat pada business result yang bagus.
Praktek organisasi sering membuktikan bahwa tidak semua people process yang bagus itu langsung dan otomatik akan melahirkan business result yang bagus. Supaya ini tidak terjadi pada kita, maka koordinasi yang sifatnya dinamis sangat dibutuhkan. Bahkan ada juga riset industri yang berhasil mengungkap bahwa tidak semua orang dengan kepuasan kerja yang bagus itu secara otomatik dan kausatif akan memiliki kinerja yang bagus. Kepuasan kerja dan kinerja tidak menciptakan hubungan kausatif yang otomatik sehingga perlu koordinasi.
Dengan melihat orang sebagai aset, lalu kita kembangkan dengan baik, kemudian kita perlakukan dengan baik, belum tentu membuat orang-orang kita menghasilkan business result yang baik atau core competency yang baik bagi organisasi. So, tetap butuh koordinasi yang baik.
Hambatan Vital
Walaupun HCM ini memuat gagasan mulia dan dimuliakan oleh semua organsasi, tetapi untuk me-landing-kannya ke bumi, tidaklah mudah. Bahkan dalam prakteknya, modal material itu jauh lebih kita utamakan ketimbang modal SDM. Pendorongnya bisa jadi berakar pada hal-hal yang sangat sederhana. Kalau misalnya kita punya modal material senilai 1M, modal itu sudah langsung bisa kita gunakan dan sesuka-suka kita. Modal materi tidak punya hak untuk protes ke kita. Bahkan kalau kita simpan di Bank sekali pun, modal itu bertambah sendiri tanpa pakai mikir.
Tapi untuk modal SDM, modalnya sendiri masih berupa potensi, alias bahan baku. Namanya bahan baku, dia belum bisa langsung digunakan. Sudah begitu, potensi itu bisa berubah menjadi modal, menjadi beban, atau menjadi ancaman. Ini yang membuat faktor SDM menjadi yang pertama kali perlu disingkirkan ketika perusahaan menghadapi goncangan.
Selain harus menghadapi kenyataan yang seperti di atas, hambatan untuk membumikan gagasan HCM juga datang dari tidak seimbangnya jumlah orang yang berkomitmen untuk merealisasikannya. Kalau memakai angka yang diformulasikan Zohar dan Marshall (Spiritual Capital: 2005), jumlah orang yang berkomitmen untuk merealisasikan HCM dalam organisasi idealnya adalah: perlu ada 2-5 % jumlah pimpinan / pendiri yang menjadi kesatria, perlu ada 10% jumlah orang yang menjadi master (profesional, manajer, dst), dan perlu didukung oleh 80% pengikut (pegawai atau staff).
Angka di atas bukanlah angka mutlak, tetapi lebih pada angka yang memberikan message tertentu dimana realiasasi HCM itu tidak mungkin hanya dilakukan oleh sebagian kecil pimpinan, sedikit pelaksana, dan sedikit pengikut. Idealnya harus menjadi kesadaran bersama dan didukung oleh sebagian besar anggota organisasi.
0 komentar:
Posting Komentar