Rusak Hutan Bisa Dilihat, Rusak Laut Siapa Tahu?
Kalau Anda naik pesawat ke Sumatera atau Kalimantan, tentu pernah melongok melalui jendela. Pernahkah Anda perhatikan makin lama hutan raya yang hijau di dua pulau ini semakin susut? Hutan semakin banyak punya pitak karena penebangan liar dan asap mengepul-ngepul hasil dari pembakaran hutan.
Menurut data tahun 2003 dari Badan Planologi Departemen Kehutanan, laju kerusakan hutan mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Tingginya kerusakan hutan Indonesia disebabkan berbagai faktor seperti pengelolaan hutan yang tidak lestari, penebangan liar, konversi hutan menjadi lahan pertanian, dan perkebunan khususnya sawit dan karet, dan kebakaran hutan.
Bencana Alam
Rusaknya hutan langsung dibayar kontan dengan bencana hidup bagi manusia. Orang-orang yang tinggal di dekat kawasan hutan yang rusak merasakan air tanah yang semakin sedikit, gangguan pernapasan karena asap, dan bahkan bencana banjir. Sekarang, efek rusaknya hutan ternyata bukan skala lokal saja. Setiap jengkal hutan yang hilang, berpotensi menaikkan sepersekian derajat suhu bumi.
Hutan raya dengan pohon-pohonnya adalah penyerap dan penghirup karbon yang setiap hari kita hasilkan baik dari kegiatan industri maupun kehidupan sehari-hari. Karena kemampuan hutan menyerap inilah maka karbon yang dilepas ke udara tidak bertumpuk dan memanaskan bumi ini.
Jadi, ada dua risiko besar kalau hutan ditebang :
1. Pertama mengurangi potensi hutan yang ada untuk bisa menyerap karbon.
2. Kedua, anakan pohon, iklim mikro dan ekosistem di sekitar hutan akan terancam. Iklim mikro antara lain bisa dirasakan dengan udara sejuk di daerah yang banyak hutan dan udara menjadi panas begitu hutan di satu daerah banyak dibabat.
Yang tidak kalah merugikan, kalau hutan dibakar untuk membuka lahan. Saat terjadi pembakaran maka ada pelepasan kembali karbon yang pernah diserap pohon sebelumnya. Karbon yang lepas ke atmosfir bisa semakin menghangatkan bumi. Akibatnya bermacam-macam, mulai dari menaikkan suhu laut, mencairkan es di kutub sehingga permukaan air laut naik, musim yang tidak menentu dan menggagalkan panen. Semua menjadi kacau balau gara-gara suhu rata-rata bumi naik.
Supaya bencana global ini tidak terjadi, salah satu caranya adalah dengan mengolah hutan dengan lestari. Tentu saja selalu ada kebutuhan kita terhadap kayu, tapi kalau dikelola dengan baik ada upaya penanaman kembali dan pemilihan pohon yang akan ditebang, kita masih bisa menahan trend pemanasan global.
Kerusakan Laut
Kalau Anda terbang ke Jakarta atau Denpasar, tentu Anda pernah melongok dari jendela pesawat sebelum touch down. Hamparan laut biru yang permai mengepung Denpasar dan Jakarta. Kalau tadi dengan gampang kita melihat bagaimana hutan bisa rusak dan semakin berkurang karena tekanan manusia, apakah Anda bisa mengenali apa yang terjadi pada laut? Tidak gampang melihat apakah sebuah laut sehat atau tidak dari udara, bahkan dari atas kapal sekalipun. Secara kasar mata, didak ada bukti fisik di laut, seperti kita lihat hutan yang pitak, asap yang mengepul dari hutan.
Kita perlu turun ke bawah laut dengan berbekal alat selam untuk menilai sebuah laut itu sehat atau tidak. Tapi, para nelayan yang sehari-hari hidup dari laut tahu pasti kapan laut mereka tidak lagi memberikan hasil berlimpah. Ketika ikan semakin sulit di dapat, itu tandanya laut mulai sakit.
Kenapa laut sakit? Salah satu ukuran terjaganya kesehatan laut adalah keutuhan terumbu karang. Terumbu karang adalah berbagai bentuk karang lunak dan keras yang beraneka warna dengan ikan cantik hilir mudik di perairan dangkal dekat pantai. Terumbu bisa hancur karena penangkapan ikan yang merusak seperti dengan menggunakan bom, racun atau pukat harimau.
Kenapa kesehatan terumbu karang sangat penting buat laut dan kita manusia? Bukankah laut lepas lebih dominan dari daerah terumbu karang? Jawabannya adalah terumbu karang punya banyak peran penting bagi kesehatan ekosistem laut. Terumbu bagi ikan adalah tempat bertelur, tempat tempat berkembang, tempat mencari makan. Kalau kawasan terumbu karang hancur, maka ikan akan sulit berbiak dan mencari makan. Pada gilirannya stok ikan di daerah yang rusak itu akan menipis dan bahkan bisa habis.
Inilah antara lain pangkal masalah kenapa nelayan semakin sulit mendapatkan ikan di perairan mereka. Umumnya karena terumbu sudah rusak dan terjadi penangkapan ikan yang berlebihan. Risikonya, hidup nelayan menjadi sulit, standar hidup mereka menurun, dan hidup semakin melarat. Dampak globalnya, dengan hancurnya habitat ikan di suatu daerah, lambat laun akan berpengaruh kepada pasokan ikan segar buat dunia.
Menurut penelitian para ahli kelautan, terumbu karang yang berada di wilayah Indonesia, Filipina, Papua Nuigini, Timor Leste, Kepulauan Solomon, dan Malaysia, adalah yang terkaya di dunia. Paling tidak hampir 80 persen spesies terumbu karang dunia dan sekitar 3.000 spesies ikan hidup di kawasan ini. Saking tingginya kekayaan dan biodiversitas yang ada, kawasan ini bisa disebut sebagai hutan Amazon versi laut. Kawasan yang meliputi enam negara ini disebut Segi Tiga Terumbu Karang (Coral Triangle). Lebih jauh lagi, kawasan seluas 5.7 juta kilometer persegi ini diperkirakan mempengaruhi kehidupan 120 juta orang dengan nilai perputaran ekonomi yang mencapai 2,3 miliar dollar AS per tahun.
Kerusakan Manusia
Sejak alam di ciptakan dan manusia di lahirkan, keduanya di takdirkan untuk saling menjaga dan memelihara demi kelangsungan hidup kedua belah pihak. Ketika salah satu pihak menyalahi hukum alam semesta, jelas akan menyebabkan kekacauan seperti yang kita saksikan dan alami di Indonesia. Manusia lupa, bahwa manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan yang tidak bisa terpisahkan, karena di antara keduanya terdapat hukum sebab akibat. Lebih dalam lagi, jika dihubungkan dengan teori psikologi budaya, apa yang terjadi di masyarakat – perilaku masyarakat yang pada skala dan derajat tertentu sudah bisa dikatakan sebagai budaya, itu mencerminkan apa yang terjadi di dalam diri manusianya. Perilaku manusia yang suka jalan pintas dan tidak berpikir panjang hingga gampang saja merusak alam untuk mengambil keuntungan darinya, mencerminkan kerusakan atau masalah serius di sistem nilai dan karakternya.
Jadi urusan memperbaiki alam, tidak lepas dari urusan memperbaiki manusia. Alam punya recovery system, tapi kalah cepat ketimbang impuls manusia yang merusak. Selama manusia tidak berpikir bahwa setiap hari dirinya punya potensi atau pun kontribusi merusak alam dengan cara-caranya yang disadari maupun tidak, maka upaya penyelamatan alam menjadi sulit. Pemikiran ini hendaknya jangan di bawa ke arah pesimistik apalagi fatalistik. Ingat, manusia Indonesia pernah mencapai tingkat peradaban yang tinggi di kala bangsa lain masih less civilized. Artinya, kalau kita mau belajar memperbaiki diri, menjadi bangsa yang beradab, menghargai kehidupan dan alam, sebagai wujud syukur kita pada Sang Pencipta, itu bukan hal yang mustahil. Namun, segala sesuatu mesti di mulai dari diri sendiri. Manusia yang merusak alam adalah manusia yang dalamnya juga mengalami kerusakan. Jadi, kalau ingin melestarikan alam ini, manusia harus memperbaiki sikap, kebiasaan dan tatanan nilai yang rusak. Recover - nya manusia, akan terlihat dari recover-nya alam ini. Alam bukan saja sahabat manusia, tapi tidak berlebih jika kita mengatakan bahwa alam adalah belahan jiwa kita.
Sebagai warga bumi, sudah waktunya kita ikut dalam proses menyelamatkan alam ini, untuk kesejahteraan dan kedamaian kita bersama. Mari kita mulai hidup baru.
0 komentar:
Posting Komentar